Belajar Menahan Amarah



oleh Ineu  

Pada suatu kesempatan berdiskusi ringan dengan para ibu yang mengantarkan putra-putrinya belajar baca qur'an, saya melontarkan sebuah pertanyaan.

"Ibu-ibu yang saya cintai, apa yang paling sulit dikendalikan dari diri ibu?"

Suasana hening sejenak, mereka terlihat termenung memikirkan sesuatu, lalu tak berapa lama mereka bergiliran menjawab.

"Saya paling sulit mengendalikan marah", jawab seorang ibu yang mendapat giliran pertama menjawab.

Seolah telah terjadi kekompakan, jawaban mereka ternyata senada, ada yang ekspresif penuh gelora saat menyampaikan jawabannya, ada juga yang malu-malu.

"Bagaimana ya Mbak kiat agar bisa menahan atau meredamnya, rasanya dalam kehidupan saya tiada hari tanpa amarah yang terluapkan?", tanya seorang ibu.

Belum sempat saya menjawab, ibu tersebut rupanya masih ingin meneruskan apa yang ia pikirkan. Dengan mimik muka yang lebih serius, beliau menyampaikan perasaannya.

 "Saya kok seperti mempermainkan janji pada Allah, sehabis marah saya beristighfar memohon ampunan atas amarah yang saya perturutkan, tapi tak berapa lama berselang hanya dalam hitungan menit bukan dalam hitungan hari, saya kembali melakukan hal yang sama: meluapkan amarah lagi", urainya panjang lebar.

Semua ibu-ibu yang hadir tersenyum dan mengangguk, saya tak berani menduga apa arti dari senyum dan anggukan mereka. Apakah merasa pertanyaan sang ibu tadi mewakili yang dirasakan mereka juga atau sebagai sebuah ungkapan memahami perasaan sang ibu yang bertanya.

Tak berapa lama, ibu-ibu yang lain pun melontarkan perasaan yang menyebabkan terpicunya reaksi marah mereka, seperti kesal karena suami tidak mengapresiasi upayanya membuat suasana rumah bersih dan nyaman, tersajinya hidangan makanan yang bervariasi dan menggugah selera, juga tak mempedulikan bagaimana sang ibu telah berusaha sedemikian rupa tampil cantik untuk suaminya. Ada juga yang kesal karena ulah buah hatinya, dan lain-lain. Tetapi umumnya para ibu merasa amarah lebih sering terjadi karena dan pada orang terdekat.

Suasana kembali tenang setelah berbagai perasaan mereka tertumpahkan saat itu, kini seluruh mata menatap saya menanti jawaban.

Melihat isyarat itu, saya mengawali jawaban dengan menyampaikan bahwa pertanyaan yang sebelumnya saya ajukan adalah merupakan tema yang ingin disampaikan pada kesempatan tersebut, yakni tentang menahan marah.

Selanjutnya, saya pun mulai menguraikan sedikit yang saya pahami sambil berharap dalam hati semoga Allah membimbing diri saya juga para ibu yang hadir saat itu untuk dapat menyelami lebih dalam ajaran agama yang sempurna ini.

"Ibu-ibu yang dirahmati Allah, tak hanya ibu-ibu yang merasakan itu, saya sendiri juga orang yang harus selalu belajar dan terus belajar dari waktu ke waktu untuk dapat menahan marah. Amarah merupakan suatu tabiat yang sulit untuk dikendalikan. Oleh karena itulah Allah menjadikan orang yang mampu menahan amarahnya sebagai salah satu ciri orang yang bertakwa".

Sejenak saya berhenti, kemudian mengajak mereka membuka qur'annya masing-masing dan membuka surat Ali Imran ayat 133-134. Seorang ibu membacakan arti ayat yang dibaca.

"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (QS.3:133-134).

"Di samping itu ibu-ibu, Allah juga memberi pahala kepada orang yang dapat menahan amarahnya lalu memaafkan mereka yang menyakitinya", lanjut saya seraya membacakan arti sebuah ayat yang masih berkaitan dengan hal tersebut.

"Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas tanggungan Allah. Sesungguhnya dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim"(QS.Asy Syuura:40).

Mengenai kiat menahan amarah yang ditanyakan mereka, saya pun mencoba mengajak ibu-ibu untuk selalu mengingat kedua ayat tersebut saat rasa marah mulai menguasai hati disamping mencoba mengalihkan perasaan hendak marah itu dengan segera beristighfar dan merubah posisi kita. Berwudhu juga sebuah upaya lebih baik lagi yang dapat dilakukan untuk menenangkan hati.

Saya tambahkan pula untuk menjadi latihan bagi kami semua yaitu mengenali saat-saat letih diri sendiri, pasangan maupun anak kemudian menghindari untuk menyampaikan sesuatu yang tidak kita setujui dari mereka pada saat tersebut atau dengan kata lain menunda sampai suasana nyaman untuk berbicara atau menumpahkan segala yang menjadi uneg-uneg. Dan terakhir, saya sampaikan untuk diri saya dan mereka bahwa kita harus terus-menerus berusaha memahami karakter serta memperbanyak dialog dengan pasangan maupun anak. Hal tersebut perlu ditingkatkan untuk mengikis hambatan-hambatan komunikasi yang sering menjadi bola salju "kemarahan" yang siap meluncur sewaktu-waktu.

Saat ini, rasanya tak sabar ingin segera berkumpul kembali dengan para ibu, karena kami bersepakat untuk berlatih menahan amarah dan menceritakan pengalaman masing-masing saat pertemuan berikutnya.

Ketika Asa Berbuah Nyata




oleh Ginanjar Cahya Komara
Harapan, mimpi, atau - yang lebih iritnya - asa. Itulah hal yang mutlak dimiliki oleh siapa pun yang tidak mau dibilang orang paling miskin. Setidaknya menurut Bapak Menegpora kita. Rasanya memang aneh jika hidup tanpa punya impian. Terlepas dari impian jangka pendek atau jangka panjang, besar atau kecil, untuk diri sendiri atau orang lain, keluarga, bangsa, atau pun dunia. Tapi seberapa besar dampak impian atau asa terhadap kehidupan seseorang?


Teringat kisah Qarun dengan hartanya yang melimpah. Awalnya Qarun adalah seorang yang miskin, namun saleh dan rajin beribadah. Dia merupakan salah satu pengikut Nabi Musa. Suatu ketika Qarun meminta Nabi Musa untuk mendoakannya agar Allah memberikan harta yang berlimpah, dengan alasan agar dia dapat lebih khusyu beribadah. Singkat cerita, Qarun dianugerahi harta yang banyak dan berlimpah. Apa yang terjadi? Bukannya bertambah saleh dan rajin beribadah, Qarun malah sombong dan semakin menjauh dari Allah. Tidak mau Qarun mengeluarkan zakat, terhadap Nabi Musa pun sudah semakin menentang. Akhir cerita, Qarun lenyap ditelan bumi lengkap bersama hartanya yang berlimpah.

Di belahan bumi lain pada waktu yang berbeda, ada sepasang suami istri yang baru saja merajut indahnya pernikahan. Mereka berdua saling mencintai, seolah tak mau berpisah barang sedetik pun. Hari-hari dilalui bagai sepasang kekasih yang memadu cinta dengan kegembiraan, canda tawa, kemesraan, dan kehangatan. Obrolan serta perencanaan seputar anak tak pernah lepas menjadi buah bibir keduanya, yang semakin lama semakin menguatkan cinta diantara mereka. Mereka sangat mendambakan kehadiran buah hati mereka yang pertama, kedua, dan seterusnya.

Setiap hari sang suami selalu membopong sang istri di tangannya, membawanya dari kamar ke pintu depan rumah, mencium keningnya, sebelum akhirnya bertolak mencari nafkah. Menjelang senja sang istri selalu setia menanti kepulangan sang suami di ruang tamu, seolah sang suami sudah tak pulang berbulan-bulan. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Tak terasa sudah 11 tahun mereka menikah. Kehidupan mereka telah berubah menjadi semakin mapan, dengan rumah dan mobil mewah. Sang suami sudah menjadi salah satu pengusaha sukses di negerinya. Sang istri memiliki butik yang dikenal sampai ke mancanegara. Hanya satu hal yang tak berubah. Penghuni rumah mereka tak kunjung bertambah.

Berbagai cara telah dilakukan demi terwujudnya keinginan memiliki anak. Namun tak ada satu pun yang membuahkan hasil. Sang suami mulai uring-uringan, tak jarang mengacuhkan sang istri. Dia menyalahkan istrinya yang tak mampu memberinya anak. Sebaliknya sang istri menuduh suaminya yang mandul. Kini hari-hari mereka dilalui dengan dingin. Pertengkaran demi pertengkaran menghiasi rumah mereka yang laksana istana. Tak ada lagi bopongan sang suami sebelum bekerja. Tak ada lagi sang istri yang menyambut kepulangan sang suami. Akhirnya, pernikahan mereka berujung di pengadilan agama dengan perceraian.

Lain cerita lagi, ada seorang pemuda tampan yang masih duduk di bangku kuliah. Pemuda ini sangat ingin memiliki sebuah mobil, seperti teman-temannya yang lain. Setiap hari dia hanya dapat memandang iri teman-temannya yang datang dan pergi ke kampus mengendarai mobil. Sedangkan dia, untuk mencapai kampusnya, harus rela berpindah dari satu kendaraan ke kendaraan yang lain. Berdesak-desakan di bus bersama penumpang yang lain. Berebut tempat di angkot, sampai kejar-kejaran dengan kereta. Namun keinginannya memiliki mobil ini tak pernah dijembatani dengan usaha untuk meraihnya, sekalipun dengan mengatakannya pada orang lain. Hanya dirinya dan Tuhan yang tahu.

Suatu malam, sang pemuda baru saja pulang ke rumahnya. Terkejut didapatinya sebuah mobil terparkir rapi di garasi rumahnya, tepat di samping mobil sedan milik ayahnya. Mobil itu cantik dan masih baru. Catnya masih mulus mengkilap. Jok mobilnya masih rapat terbungkus plastik. Masa berakhir plat nomornya masih 5 tahun dari sekarang. Segera si pemuda bergegas ke dalam rumah, mencari sosok ayahnya dan bertanya mobil siapa itu. Dengan seuntai senyum sang ayah menjawab, "Itu mobil untukmu, Nak..". Betapa senang pemuda tersebut. Begitu senangnya sampai malam itu tak dapat ia memejamkan mata, tak sabar menunggu hari esok untuk segera menjajal mobil barunya. Kini si pemuda telah menjalani hari-harinya bersama mobil barunya. Tak ada lagi berdesakan di bus, berebut angkot, atau pun kejar-kejaran dengan kereta.

Suatu ketika, Si pemuda pergi ke rumah temannya. Tak lupa ia membawa serta tunggangan barunya. Diparkirnya mobil di pinggir jalan, tepat di depan rumah temannya. Cukup lama si pemuda berada di rumah temannya, bersenda gurau sambil bermain game. Tak lama kemudian si pemuda pamit pulang. Alangkah terkejutnya ketika ia tak mendapati mobilnya berada di tempat di mana seharusnya mobilnya berada. Mobilnya hilang! Ada orang yang mengambilnya, dan pemuda itu tak tahu siapa, kapan, dan bagaimana orang itu mengambil mobilnya.

Begitulah, berbagai fenomena dapat terjadi yang semuanya bermula dari sebuah asa. Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan ketika asa berbuah nyata, atau sebaliknya?

http://ginanjarck.web.id

Translator dari Indonesia ke . .

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Indahnya Hikmah dari kehidupan Manusia, sejak dilahirkan hingga dewasa dan akhirnya kembali ke Haribaan ALLAH SWT, bagaikan indahnya kembang jambu, kemudian berproses menjadi buah yang bermanfaat bagi mahluk lainnya. Semoga Keindahan kehidupan kita tidak sirna walaupun kita telah tiada.

Selamat membaca

Blog ini berisi kumpulan artikel OASE IMAN yang pernah dimuat di http://www.eramuslim.com/oase-iman Banyak hal menarik yang dapat kita teladani dari sauri teladan kisah-kisah dan hikmah dibaliknya. Untuk itu maka, arsip tulisan ini terasa sangat sayang jika hanya disimpan di dalam file saja.

Dengan adanya blog ini, Semoga membawa manfaat bersama kepada saudara-saudaraku semua.

Sahabat KembangJambu, ada di. .

Followers

Diberdayakan oleh Blogger.