Ayah (Hampir) Pensiun Kini

Beberapa kali ayah saya membicarakan tentang rencana pensiunnya. Beberapa kali pula itu saya tanggapi dengan setengah hati. Bukan karena tidak menghormati beliau tetapi saya merasa tidak bermasalah dengan pensiun itu. Toh selama ini saya sudah belajar memenuhi semua kebutuhan hidup sendiri. Justru saya senang karena ayah akan punya banyak waktu di rumah dan bisa melakukan kegemaran berkebunnya. Namun ternyata tidak hanya ayah yang ‘ribut’ masalah pensiun, tapi juga ibu. Suatu ketika dengan serius beliau membicarakan rencana pensiun ayah tersebut. Ibu membeli sawah dekat rumah, katanya untuk aktivitas ayah. Selama ini Ayah memang perlu berjalan jauh untuk ke sawah. Ayak! Segitunya. Dan kembali saya tanggapi dengan tenang. Saya setuju saja, wong itu juga investasi.

Lama-lama saya risih juga. Setiap kali pulang mudik, tidak ada ada topik lain kecuali pensiun. Setelah lama baru saya mengerti bahwa ayah saya sedang memasuki masa penyesuian untuk tahap usia selanjutnya. Dalam psikologi perkembangan dikenal dengan masa lanjut usia. Masa ini biasanya ditandai dengan mulainya pensiun atau menurunnya fungsi-fungsi tubuh baik fisik maupun psikis. Ada juga yang mengalami post power syndrome. Saya memahaminya sebagai suatu gejala perubahan respon terhadap perubahan situasi. Tak terkecuali ayah saya, tak urung pensiun itu menjadi pemicu kecemasannya. Meski beliau belum benar-benar pensiun dari pekerjaannya.

Ada sikap mental yang harus dikelola dalam masa perubahan yang dialami setiap orang. Ayah saya sedang mengalami perubahan peran, perubahan kebiasaan dan berbagai hal yang mengikuti atas perubahan statusnya kini. Dulu beliau adalah seorang guru dengan kesibukan mengajar, menyiapkan ulangan, mengoreksi ujian dan berbagai aktivitas lain sebagai pegawai negeri. Dulu ayah memiliki relasi sesama guru dan aktivitas relationship yang tentu berbeda dengan ketika nanti beliau pensiun. Dulu saya sering meminta uang dan mengharap berbagai hadiah dari beliau. Tentu nanti saya akan tak asal minta.

Saya bisa menyesuaikan masalah ini. Karena saya pun mulai melonggarkan ketergantungan saya pada orang tua. Baik itu masalah keuangan maupun keputusan-keputusan hidup. Tetapi saya kan tidak tahu sudut pandang orang tua. Mungkin kita tidak merasa perlu meminta uang saku lagi. Tetapi bisa jadi itu masalah bagi ayah, karena merasa tidak bisa memberi lagi. Sesuatu yang biasa bagi saya ketika bercerita tentang aktivitas di kantor atau bercerita tentang teman-teman kantor, padahal itu belum tentu menjadi bahan cerita yang menyenangkan bagi beliau. Ah, kini saya mengerti.

Kali ini saya akan pulang dengan padangan yang berbeda. Seorang teman menawarkan bibit pohon jati gratis ketika kami sama-sama mengikuti Jogja Education Fair. Stan kami berhadapan. Saya pun memboyong sepuluh bibit pohon jati setinggi pinggang. Sesampai di rumah saya langsung mencari ayah dan mengatakan rencana saya. Saya ingin punya hutan jati. Saya ingin kebun kami juga dipenuhi pohon pisang dan buah-buahan lain. Oya, kami juga merencanakan untuk beternak kambing untuk persiapan tahun 2009. Ehm, topik pembicaraan kami kini telah berganti. Ayah selalu melaporkan perkembangan kebun-kebun kami. Atau rencana kandang kambing kami. Tentu saya juga menaggapinya dengan antusias, meski sebenarnya saya tidak tahu-menahu tentang kambing dan pohon pisang.

Ah, sebenarnya ini adalah hal yang sederhana. Kita tak perlu mengirim orang tua kita ke panti jompo. Hal yang sering dilakukan orang ketika para orang tua kita sudah lanjut usia sedang kita memiliki kesibukan yang sangat. Tetapi kita hanya perlu memberikan perhatian dengan memberikan kebutuhannya. Saya tidak marah bila tiba-tiba ayah muncul di kampus atau di kantor bahkan pada jam-jam sibuk hingga tidak bertemu saya. Pernah suatu ketika beliau telpon ke kos saya, padahal sehari sebelumnya saya sudah izin untuk keluar kota. Pada awalnya saya marah karena merasa bersalah tidak dapat menemui atau menjawab telponnya. Saya sudah memberikan jadwal aktivitas saya, hingga harusnya beliau tahu kapan kami bisa bertemu. Tetapi, ayah saya memang punya cara yang unik dalam mengekspresikan cintanya. Saya makin mengerti. Setelah itu kami malah punya bahan cerita. Ya, Ayah pasti akan bercerita tentang “petualangannya” mencari saya tanpa ekspresi menyesal. Saya pun mendengarnya tanpa bosan.
Saya juga dengan senang hati menerima tawaran diantar ke tempat rapat, ke kampus dan lain-lain (bahkan ditunggu hingga selesai acara), meski dengan kecepatan motor setengah dari kecepatan saya. Padahal untuk sesuatu yang mendesak, saya tipe orang yang memilih naik taksi meski mahal, dari pada naik angkot berlama-lama. Bayangkan saja, Ayah mengantar saya dari Parangtritis hingga ring road selatan yang berjarak sekitar 20 km, lalu Ayah pulang ke Parangtritis lagi. Padahal perjalanan saya tinggal lima belas menit menuju kampus. Hihi, kadang saya merasa konyol. Tetapi kali ini anggap saja kami sedang ingin bernostalgia. Meski beliau kian uzur, cintanya tidak luntur. Beliau masihlah jagoan saya. Seperti dulu, beliaulah yang mengantarkan ke mana saya suka. Sebaiknya kita memang harus punya daya kompromi yang luas, demi orang tua kita.

Pada umumnya ada dua tipe orang lanjut usia, yang full activity dan disangagement, yang terus aktif dan yang lebih memilih banyak istirahat. Setelah mengenali tipe ini, kita bisa menentukan dengan tepat bagaimana seharusnya kita bersikap. Ayah saya tipe orang yang suka beraktivitas, maka sengaja saya sediakan “ruang” untuk tetap beraktivitas, tentu dengan mengikuti pergesaran perannya. Ini berbeda dengan ibu saya yang justru “pusing” melihat kegiatan saya yang tak pernah henti. Kadang-kadang saya memerlukan untuk diam di rumah, cuti atau mudik untuk sekedar tidur-tiduran atau membaca buku. Hanya demi melihat Ibu saya nampak lega karenanya. Hanya kitalah, anak-anaknya atau keluarga besarnya yang dapat mengantarkan orang tua kita pada perasaan sejahtera. Hingga beliau tak pernah merasa disisihkan karena kesibukan kita. Saya percaya setiap kita pasti mencintai beliau dengan amat sangat. Tetapi tidak setiap orang tua dapat memahami cinta kita itu. Kitalah yang harus memahami beliau dengan ekspresi cinta yang beliau sukai.

Nurika Nugraheni

Untuk semua orang tua yang “membesarkan” kita, I love you.

Label:

Jelata yang Kaya Raya

Mbah Sarni sungguh tidak paham, kenapa harga-harga berebut naik ketika ada pengumuman pemerintah yang akan menaikkan harga BBM. Yang ia mengerti hanyalah bahwa tempat pengisian bahan bakar di dekat perempatan jalan sebentar lagi tentu akan ramai. Akan ada antrian panjang di tempat itu karena diserbu pembeli. Itu wajar mumpung harga baru belum berlaku. Tapi kalau harga minyak goreng naik, harga cabe naik, harga tempe naik sampai harga krupuk juga naik, itu yang belum bisa ia terima dalam pemikirannya. Harusnya harga BBM naik, ya harga BBM saja. Tidak perlu sampe tempat penitipan sepeda di dekat pasar juga ikut-ikutan naik. Sehingga ia harus memberikan tambahan uang kepada cucunya yang tiap hari menitipkan sepedanya disana.

“Kenapa ya harga-harga yang lain jadi ikut naik?” Itu saja yang terus jadi pikiran janda tua ini. Kadang juga terlintas dalam pikirannya, pertanyaan mengapa pemerintah tidak bisa menjamin bahwa harga-harga yang lain tidak ikut naik. “Apa pemerintah ndak tahu kalau sekarang harga sudah pada naik? Apa tidak tahu kalau harga BBM naik, harga-harga yang lain juga bakal pada naik? Kalo tahu, kenapa tidak dipersiapkan dulu agar harga-harga yang lain tidak ikut naik?” Bingung mbah Sarni memikirkan hal itu. Tidak terjangkau pikirannya sampai pada soal-soal yang rumit seperti itu. Yang ia pikirkan sekarang, bagaimana ia harus memenuhi kebutuhan sehari-hari di tengah pesta kenaikan harga-harga barang seperti ini.

Ia sendiri tentu akan menaikkan harga kangkung, kacang panjang dan sayuran lainnya karena harga yang ia beli memang naik. Jadi keuntungan yang didapatkan sebetulnya sama saja. Sebelum dinaikkan ya keuntungannya memang segitu. Setelah dinaikkan ya segitu-gitu juga. Tidak seberapa. Padahal ia beli langsung dari para petani sayuran yang sedang memanen hasil tanamannya di sawah. Di sana tidak ada POM bensin. Lahan pun tak perlu ditraktor yang sudah pasti membutuhkan BBM. Tapi cukup dengan otot, dicangkul saja. Tapi toh para petani tetap menaikkan harga sayuran yang dijualnya kepada mbah Sarni. “Harga gula dan teh naik mbah!” jawabnya singkat ketika mbah Sarni protes adanya kenaikan harga. Mau bagaimana lagi, mbah Sarni tentu tidak bisa mengelak. Ternyata di sawah pun ada kenaikan harga.

Sekarang ia lebih sering membawa barang dagangannya sendiri saja. Berjalan dengan membawa keranjang bambu di pinggangnya. Melelahkan memang, tapi harus bagaimana lagi. Sekarang ongkos becak pun naik. Daripada keuntungan berjualannya terpotong karena ongkos becak yang lebih mahal. Akan lebih baik kalau dizinjing sendiri saja. Ini yang bisa ia lakukan agar tetap bisa bertahan memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Badannya yang renta sekarang tidak semakin berkurang bebannya. Hampir tiap malam mbah Sarni tidur dengan kaki yang ia sandarkan di tembok kamarnya. Karena dengan begitu pegal-pegal kakinya bisa lebih reda. Kadang juga ia minta dipijat cucunya.

Ia sadar beban hidupnya kian berat. Meski tak terkatakan tapi hal itu bisa dirasakan dari raut wajahnya yang semakin menua. Hendak minta tolong kepada siapa, mbah Sarni juga tidak tahu. Suaminya telah lama meninggal. Sedangkan pemerintahan desa yang sedekat-dekatnya pun terasa jauh. Dan yang pasti, tak mungkin pemerintah mengurus dirinya terus-terusan. Meskipun ia adalah janda dan sudah tua, toh di negeri ini ia harus mengurus kehidupannya sendiri.

Di tengah himpitan kesulitan seperti ini, mbah Sarni sebetulnya tidak merasa sendiri. Di pasar tempat ia berjualan, para pedagangpun mengeluhkan hal yang sama. Bahkan tak jarang disertai sumpah serapah dan omongan kasar lainnya. Hidup yang sudah susah, semakin susah saja kata mereka. Para pembeli juga tak berbeda. Seringkali malah menuduh para pedagang menaikkan harga barang seenaknya. Memanfaatkan situasi dikala harga BBM naik. Mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Para pembeli merasa merekalah yang paling dirugikan dari naiknya harga BBM. “Gaji mas Kardi ndak naik mbah, sekarang harga-harga pada naik begini?” keluh Ibu Guru Warti saat menawar kangkung.

Di mushalla tempat mbah Sarni sholat pun demikian juga. Obrolan selepas dzikir dan mengaji masih soal kenaikan harga. Tapi suasananya lebih tenang dan rileks. Haji Kamir yang punya dua mobil angkot pun berkomentar dengan nada yang lesu. Harga suku cadang naik, dan sekarang ia masih bimbang dengan kenaikan setoran di tengah keberatan dari para sopirnya. Pendapatan dari dua angkot yang disewakannya tentu tidak sebanyak dulu lagi.

Kadang mbah Sarni merasakan beratnya beban hidup yang ia jalani. Tapi ia lebih sering memendamnya saja. Sudah terbiasa dari muda bekerja keras dengan sekuat tenaga. Hal-hal yang pahit sudah terbiasa ia rasakan dari muda. Segala sesuatu harus dicapai dengan kerja keras dan mengatasi berbagai kesulitan Itu yang tertanam kokoh dalam pikirannya. Seperti noktah hitam dalam lembaran putih hatinya. Sehingga menghadapi situasi tidak menggembirakan seperti ini pun, mbah Sarni sudah siap dengan segala daya upayanya. Dalam suasana penuh keprihatinan seperti inipun, mbah Sarni masih bisa menyedekahkan satu teko teh manis dan aneka jajanan pasar kepada jamaah pada tiap malam Jumat.

Alangkah beruntungnya pemerintah di republik ini, memiliki banyak rakyat yang begitu mandiri dan bersih hati. Rakyat yang lebih senang memberi daripada memiliki. Walau mereka sendiri sebetulnya tak punya kekayaan yang mencukupi. Tidak terbayang sebelumnya kalau pengorbanan mereka akan dijanjikan mendapatkan dana kompensasi dari pemerintah. Alangkah bersyukurnya kalau memang dana kompensasi bisa tepat sasaran kepada yang berhak menerimanya. Karena walau bagaimanapun kenaikan harga adalah beban yang teramat berat bagi warga miskin dan berkekurangan hidupnya. Hidup dengan segala keterbatasan tak setiap orang sanggup menjalaninya.

Akan tetapi, andaipun dana tersebut tak sampai kepada mbah Sarni yang sudah renta. Insya Allah itu tak akan berarti apa-apa bagi dia. Karena Allah sudah pasti menggantinya dengan sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Kekayaan amalnya teramat agung jika dibandingkan dengan secuil dana kompensasi dari pemerintah. Dan tidak perlu iri kalau Allah lebih memuliakannya kelak di kemudian hari. Karena ia rakyat kaya yang sebenarnya. Tak butuh difasilitasi untuk bisa bekerja dan menjalani kehidupannya di dunia fana ini. Sementara yang lain sibuk dengan segala macam tuntutan kenaikan gaji, asuransi, tunjangan dan banyaknya deposit uang yang memang akan usang. Sangat menyedihkan jika seringkali orang justru berebut dengan segala cara untuk mendapatkannya, bahkan dengan cara-cara yang hina. Semoga saja itu tidak dilakukan oleh para pejabat, pemimpin dan anggota dewan yang terhormat di seluruh wilayah negeri kita, kini dan di masa yang akan datang. Semoga.

Deni M.
mukhyidin at yahoo dot de

Label:

Mengingat Kematian

Suatu hari, seorang lelaki sedang tiduran di bawah pohon apel. Tiba-tiba salah satu dari buah apel gugur dan menimpa salah satu bagian badannya. Laki-laki itu lantas berpikir. Kenapa barang ini jatuh ke bawah? Bagi orang biasa, jatuh ke bawah adalah hal biasa, sebab yang namanya jatuh, sudah pasti ke bawah. Tidak perlu pemikiran yang lebih sulit lagi. Tapi bagi laki-laki berotak cerdas ini menjadi hal yang luar biasa. Dan dari gerilya pemikiran laki-laki inilah lahir teori gravitasi bumi yang mashur itu. Dan laki-laki itu bernama Newton, fisikawan Eropa.

Tiba-tiba, suatu hari saya mengingat laki-laki itu. Sebab ketika saya sedang santai di bawah pohon mangga, setelah letih bekerja, tiba-tiba salah satu buah mangga, jatuh dan menimpa saya. Karena otak saya tidak secerdas otak Newton, kejadian itu juga saya pandang biasa-biasa saja. Tapi ada satu yang menjadi luar biasa adalah, ketika yang jatuh itu adalah buah yang masih muda. Bahkan untuk menjadi masak, buah ini perlu proses alamiah yang lebih lama lagi.

Kenapa mangga muda yang jatuh? Bukankah ada mangga yang lebih layak jatuh terlebih dahulu? Pandangan umum manusia, suatu saat akan sangat berbeda dengan kekuasaan Sang Maha pencipta. Kita mengatakan, benda ini layaknya begini dan begitu. Tapi, Allah SWT mempunyai hak prerogatif untuk berkata dan bertindak lain. Dalam bahasa orang-orang yang beriman: Apa yang terjadi di dunia ini, sudah barang tentu ada dalam lingkup qada dan qadar-Nya. Dan jatuhnya mangga muda itu, tak hanya sekedar terkena tiupan angin yang berhembus belaka, tapi di balik itu semua, Allah SWT ikut berperan di dalamnya.

Alhamdulillah, dari jatuhnya mangga itu, saya diingatkan untuk yang kesekian kalinya oleh Allah, untuk mengingat kembali sesuatu yang sangat penting, yaitu kematian. Ada sebuah kisah, bahwa seorang saleh zaman dulu, pernah meletakkan batu nisan di depan pintu rumahnya. Tujuannya tak ada lain hanyalah agar setiap saat ia bisa mengingat kematian. Itu tentu wajar -wajar saja, sebab datangnya ajal adalah sebuah kepastian, dan tak ada satu mahlukpun yang mengetahuinya.

Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang ajalnya. Dan Allah maha mengtahui apa yang kamu kerjakan. (QS 63:11)

Dan dalam perjlanan hidup saya, saya tidak harus meletakkan batu nisan di depan pintu rumah saya. Kalau berpikir ke belakang sana, sudah sangat sering sebenarnya saya diingatkan tentang hal tersebut. Hal-hal yang seharusnya saya lebih waspada dan cepat-cepat berbuat amal kebaikan. Sebelum kematian menjemput saya.

Ketika saya berumur sepuluh tahun, adik yang sangat saya sayangi, adik yang selalu saya gendong ke sana ke mari kalau ibu saya memasak atau ke kebun, dipanggil oleh Allah SWT. Masuk SMP, kembali Allah mengingatkan saya, dengan meninggalnya bapak saya, yang baru berusia 40-an. Umur yang masih sangat produktif, dan saya masih sangat membutuhkan pendidikan darinya.

Setelah meninggalnya bapak saya, saya jadi sering sekali pergi ke kuburan untuk men-ziarahi makamnya. Atau saya sangat sering pergi ke tempat tersebut, karena saya sering ikut menggali kubur kalau saudara atau tetangga saya meninggal.

Dewasa sedikit, saya lebih sering masuk ke liang lahat, untuk menghadapkan wajah sang mayat ke kiblat, sebelum ditimbun dengan tanah. Saya sering sekali melihat wajah-wajah terakhir orang yang mau menghadap-Nya. Atau saya sering sekali diajak oleh mudin, orang yang mengurusi tentang kematian di kampung untuk menjadi asistennya. Saya membantu mempersiapkan kain kafan, ikut memandikan jika mayatnya laki-laki dan sekaligus ikut membantu membungkusnya.

Sebelum saya berangkat merantau ke Brunei, saya banyak dihubungi tokoh-tokoh masyarkat desa saya, agar saya jangan merantau lagi. Mereka menginginkan saya agar jadi Kaur Kesra, Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat. Yaitu suatu struktur organisasi desa yang mengurusi tentang kesejahteraan rakyat, pernikahan dan sekaligus tentang urusan kematian. Tapi saya menolak dengan sopan. Saya merasa masih terlalu muda untuk mengurusi hal kemasyarakatan, dan lebih menghormati senior saya, tentu yang ilmu agamanya lebih dari saya.

Dan hari-hari ini, alhamdulillah, Allah masih sayang kepada saya, bahwa di perantauan inipun Allah memberikan pekerjaan dengan sesuatu yang berhubungan dengan kematian. Setiap hari, kalau saya membuat mie putih ala Cina, saya harus mencuci kain putih sepanjang lima meter. Kain yang selalu mengingatkan saya kepada pembungkus mayat. Dan Kalau saya membuat tahu, juga saya selalu berhadapan dengan kain putih untuk menyaring susu kedele. Dan tentu saja ini juga mengingatkan saya kepada benda yang akan dibawa jika kelak kita meninggal dunia.

Maka, ketika saya kejatuhan mangga muda, saya merenung. Sudah sering sekali Allah mengingatkan saya dengan hal-hal yang berhubungan dengan kematian, tapi apakah saya sendiri sudah ingat dengan kematian yang akan menimpa saya? Dan sudah cukupkah bekal saya jika tiba-tiba Izrail menemui saya? Sudahkah saya termasuk golongan orang-orang cerdas menurut prespektif Rasulullah? Karena menurut Rasulullah orang-orang yang cerdas adalah orang yang selalu mengingat kematian.

Saya meraba diri saya, dengan mengingat perbuatan selama hidup saya ini. Saya mencoba bercermin dengan para salafusshaleh, sudah sejauh manakah jejak mereka yang saya laksanakan. Dan sudah sejauh mana kelayakan saya jika menghadap-Nya.

Otak saya terus bergerilya. Walaupun otak saya tidak secerdas seperti para penerima beasiswa, apalagi deretan ilmuwan fisika dan para penerima hadiah Nobel, seperti Newton misalnya, tapi mudah-muahan Allah memasukan saya kepada deretan orang-orang cerdas menurut kacamata khatamul ambiya, Muhammad SAW. Yang selalu mengingat akan datangnya kematian. Itulah yang tak henti-hentinya saya mohonkan pada-Nya

Sus Woyo

Label:

Kerinduan Pada Sang Ayah

eramuslim - Pedih, seolah ada pisau yang menyayat di hati. Aku merasakannya ketika untuk kedua kalinya aku membaca tulisan salah seorang teman. Kali ini tulisan bercerita tentang kisah nyata seorang anak jalanan yang sering mengamen di lampu merah kawasan Pasar Minggu.

Banyak hal yang kudapat dari tulisan ini. Sedemikian banyak sehingga sulit diungkap satu demi satu. Bukan hanya pelajaran tentang kehidupan anak jalanan di Jakarta. Melainkan lebih pada kerinduannya pada sang ayah. Ya, pada seorang lelaki yang telah menitipkan benih kepada ibunya sehingga menyebabkan dia ada.

Dalam tulisan tersebut, si anak jalanan-sebut saja namanya Ari- merindukan kehadiran ayahnya yang belum pernah dijumpai sejak dia lahir sampai berumur 6 tahun. Saking besar keinginannya untuk menemukan ayah tersebut, Ari meninggalkan ibunya seorang diri dan pergi untuk mencari ayahnya.

Kenyataan ini semakin membuat hatiku pedih, menorehkan luka yang teramat dalam sehingga menimbulkan genangan kecil air yang kemudian mengalir perlahan di kedua pipiku. Kubayangkan Ari, seorang anak berumur 6 tahun, berjalan sendirian di jalan, tanpa orang tua, tanpa teman. Hanya karena kerinduannya untuk menemukan sang ayah.

Sampai suatu ketika Ari menuliskan surat kepada ayahnya, ketika temanku memberi pelatihan menulis kepada anak-anak jalanan tersebut. .".. Ayah, di manakah kau berada saat ini, tidakkah ayah merindukan ari. Ayah, Ari kangen, ingin bertemu ayah. Ari ingin minta mainan mobil-mobilan dan bisa sekolah seperti teman-teman. Ari mau jalan-jalan dengan ayah ke mall dan makan di restoran kentucki.."

Duhai, betapa pedihnya untaian kalimat yang dituliskan oleh Ari yang merupakan cerminan kerinduannya pada kehadiran sang ayah. Sampai dia melukiskan dalam bentuk surat yang ditulis tidak hanya sekali, melainkan berulang kali. Semuanya bertema sama, tentang kerinduannya pada seorang sosok bernama ayah.

Refleks aku mengambil foto di dompetku. Sebuah foto yang tidak tergantikan kedudukannya sejak Oktober 2003 yang lalu. Sebuah foto bertiga, aku, ibu dan bapak. Sambil memandangi foto tersebut aku merasakan betapa beruntungnya aku dibanding dengan Ari. Aku memiliki seorang ayah dan ibu yang selalu ada untukku.

Walaupun rambut putih sudah mulai menemani rambut hitam yang mereka punya, namun mereka masih selalu dan selalu bisa nyambung ketika berbincang denganku. Walaupun sudah 28 tahun umurku, namun mereka masih selalu mengkhawatirkan aku seperti halnya ketika aku kecil. Bahkan seringkali, ketika aku pulang ke rumah. Ibuku akan menemani aku di kamar sampai aku tertidur, dan barulah beliau akan beranjak keluar dari kamarku setelah terlebih dahulu membenarkan letak selimutku dan mematikan lampu kamarku.

Dan kerinduanku pada kedua orang tuaku menyeruak hadir tanpa kusadari ketika aku membaca kisah perjalanan seorang Ari. Jika saja Jakarta-Kudus merupakan jarak yang bisa ditempuh dalam hitungan menit, tentu aku sudah bergegas untuk pulang untuk menemui mereka.

Aku mengobati kerinduanku dengan dua hal. Pertama, aku meraih hp di meja belajarku dan mulai mengirimkan sms ke bapakku. Sebuah kegiatan yang setiap hari kulakukan, aku memang setiap hari sms ke orang tuaku, untuk menanyakan kabar mereka dan menceritakan kabarku disini. Kedua, aku berdoa kepada Allah supaya mengampuni dan menyayangi mereka serta membuat mereka berbahagia dunia akhirat.

Setelah melakukan dua hal tersebut, ada kelegaan yang hadir walau tidak sepenuhnya karena aku tidak bisa melihat mereka secara langsung dan memeluk mereka. Rasa syukur mengaliri rongga dada manakala aku selesai membaca tulisan tersebut. Walaupun terpisah oleh jarak, tapi aku mempunyai orangtua dan keluarga yang selalu mendukungku. Aku kemudian berpikir, bagaimana halnya dengan seorang Ari? Adakah menulis surat yang ditujukan kepada orang yang (seolah-olah) dianggapnya ayah tersebut sudah cukup melegakannya?

Tak dapat kubayangkan kepedihan yang melanda hati Ari. Jangankan bertemu dengan ayahnya, gambaran wajahnya saja dia tidak punya. Tidak ada nama, tidak ada alamat, tidak ada foto, lalu bagaimana Ari bisa menemukan ayahnya dan mengobati kerinduannya?

Wajar saja jika kemudian seorang teman saya tersebut berempati dengan penderitaan Ari. Karena pada hakekatnya semua manusia mempunya hati. Namun apa yang bisa kita lakukan untuk membantu Ari-ari yang ada di jalanan? Untuk meringankan kerinduannya pada sang ayah?

Anisa Kuffa

Label:

Translator dari Indonesia ke . .

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Indahnya Hikmah dari kehidupan Manusia, sejak dilahirkan hingga dewasa dan akhirnya kembali ke Haribaan ALLAH SWT, bagaikan indahnya kembang jambu, kemudian berproses menjadi buah yang bermanfaat bagi mahluk lainnya. Semoga Keindahan kehidupan kita tidak sirna walaupun kita telah tiada.

Selamat membaca

Blog ini berisi kumpulan artikel OASE IMAN yang pernah dimuat di http://www.eramuslim.com/oase-iman Banyak hal menarik yang dapat kita teladani dari sauri teladan kisah-kisah dan hikmah dibaliknya. Untuk itu maka, arsip tulisan ini terasa sangat sayang jika hanya disimpan di dalam file saja.

Dengan adanya blog ini, Semoga membawa manfaat bersama kepada saudara-saudaraku semua.

Sahabat KembangJambu, ada di. .

Followers

Diberdayakan oleh Blogger.