Catatan Harian dari Negeri Para Nabi

Segenap puja dan puji hanyalah diperuntukkan ke hadirat Allah. Lakal hamdu wa lakasy syukru ya Rabb. Aku bersyukur bisa datang ke negeri ini, Mesir. Dulu, itu hanyalah mimpi, namun kini diriku telah tinggal dan hidup disini. Banyak hal yang telah ku temui dan telah memberi warna indah dalam kehidupanku.

Teman-teman yang soleh, yang selalu 'berkejar-kejaran' datang ke mesjid demi shalat di shaf pertama. Teman-teman yang tak pernah bosan mengayuh kaki untuk menimba ilmu di Univ. Al-Azhar. Lingkungan tempat tinggal yang begitu mendukung ku untuk selalu mengenal hakikat diri sebagai seorang hamba Allah dan penuntut ilmu.

Disini, di negri para Nabi ini aku belajar mengenal siapa diriku. Di negri ini aku bertemu dengan berbagai saudara dari berbagai negara, membawa semangat yang sama dan spirit yang begitu tinggi untuk menuntut ilmu.

Di negri ini pula, adalah hal yang biasa ketika orang membaca al-Qur`an di halte, saat-saat menunggu bis, atau di dalam bis. Dan di negri ini, begitu mudahnya salam terucap pada saudara se-iman.

Negri yang memberiku sejuta harapan dan membangkitkan padaku beribu inspirasi dan motivasi. Negri yang membuatku sadar bahwa hidup di dunia hanyalah sebuah persinggahan sementara. Negri yang mengajarkan padaku arti kerja keras, kesungguhan, ketabahan dalam menjalani hidup, menggapai cita-cita, dan menuntut ilmu. Disinilah mentalku dilatih, jiwaku dididik, hatiku dibina, pikiranku diasah, dan imanku diuji.

Usai shalat subuh berjamaah di mesjid, di pagi yang syahdu, aku sering merenung sejenak, tentang diriku yang kini singgah di negri para nabi, sungguh sebuah nikmat yang tak terhingga.

Di negri ini aku mengenal teman-teman yang soleh, yang ketika melihat mereka membuatku ingat pada Allah dan akhirat, teman-teman yang penuh semangat, yang ketika berbincang dengan mereka, membuatku seolah telah jauh tertinggal ilmu dari mereka. Negri yang telah mempertemukanku dengan hamba-hamba Allah yang taat. Negri yang diberkahi, negri para nabi. Mimpiku telah menjadi kenyataan.

Ya, teman-teman yang bagiku sebuah anugerah terindah yang diberikan Allah padaku. Teman-teman yang rela menahan rasa kantuk untuk i`tikaf di mesjid setelah subuh. Teman-teman yang seakan tak penah bosan berdiri dan bersujud sepanjang malam di hadapan Allah. Teman-teman yang tak pernah absen berpuasa senin & kamis, dan teman-teman yang punya kepedulian yang tinggi membantu saudara-saudara yang kesulitan.

Disini, di negri ini, aku belajar makna sebuah cinta fillah, berbuat lillah, dan beramal karena Allah. Dari mereka ku reguk nasihat-nasihat berharga, dan dari akhlak mereka aku belajar akhlaknya Rasulullah. Ya, aku merasa cintaku pada Allah semakin tumbuh dan bersemi semenjak ku menginjakkan kaki di negri ini, negri yang diberkahi.

Di negri ini, hari-hari yang indah ku jalani dengan teman-temanku. Hari-hari memburu ilmu, hari-hari merangkai ukhuwah, dan menebar dakwah. Hari-hari yang menyenangkan, hari-hari yang semakin membuatku menjadi lebih soleh, lebih peduli terhadap sesama, dan lebih alim. Aku semakin bersemangat menimba ilmu, aku semakin terpacu untuk menjadi lebih baik.

Waktu terus berlalu, si fulan tetangga rumahku telah selesai menamatkan al-Qur`an dalam waktu yang cukup singkat, kurang dari setahun. Teman dekat ku pun telah selesai menghafal hadits arba`in. Semuanya saling berlomba dengan yang lain. Berlomba dalam ibadah, menuntut ilmu, beramal, dan kebaikan.

Yang lain pun begitu sibuk dengan kegiatan dakwah, dengan jilsah imaniyah, dengan malam-malam ukhuwah untuk membina iman dan takwa. Malam-malam yang ditemani dengan renungan-renungan indah penyejuk kalbu dan penentram jiwa. Malam-malam merangkul kebersamaan.

Mereka memandang bahwa Islam adalah agama yang luas, yang rahmatan lil`alamin, agama yang membawa rahmat ke seluruh alam, agama yang tinggi dan agung. Agama yang komprehensif, yang mencakup seluruh lini kehidupan, berjuang demi tersebarnya dakwah dan ajaran-ajaran islam yang membawa pesan-pesan perdamaian, kesejahteraan, keadilan, dan ketentraman. Perjuangan yang patut didukung dan diberi apreasiasi tinggi.

Mereka juga adalah orang-orang yang cinta pada ilmu, mereka selalu meramaikan majlis-majlis ilmu. Ahmad-nama samaran- hampir tak pernah absen hadir talaqi di Azhar. Lain halnya Riyan-nama samaran-, seolah tidak pernah merasa capek mengayuh sepeda dari Hay Sabi` ke Hay `Ashir untuk menghadiri talaqi dengan seorang syaikh, itu ia lakukan setiap hari. Dan banyak lagi, yang tak mungkin ku sebutkan satu persatu.

Rahmat-nama samaran-, walau pesatnya kecanggihan teknologi tidak membuatnya terjebak dan terlena. Waktunya di depan komputer selalu dipakai untuk membaca artikel-artikel keislaman, mendengar ceramah dari berbagai masyaikh, menulis pesan-pesan dakwah di berbagai forum dan media, semua itu ia lakukan dengan semangat keimanan yang menggelora. Di tengah kesibukannya, ia tak lupa untuk selalu menyempatkan waktu bersilaturahmi pada yang lain.

Tak jauh beda dengan Raihan-nama samaran-, setiap hari, setiap usai shalat ashar ia selalu menyempatkan waktu bersilaturahmi ke rumah-rumah mahasiswa, dalam rangka saling mengajak pada kebaikan dan merekat ukhuwah.

Aku bersyukur pada Allah bisa mengenal, bergaul, dan menimba ilmu serta kebaikan dari mereka. Manusia-manusia yang hadir membawa rahmat dan kebaikan pada sekitarnya.

Tiada hiburan yang lebih menemani saat-saat yang mereka lalui melainkan lantunan ayat-ayat Allah yang mereka baca di waktu pagi, siang, sore, dan malam. Itulah hiburan hati dan penyejuk jiwa. Hiburan yang menentramkan hati yang resah dan gelisah. Hiburan yang menyalakan api nurani dan spirit keimanan.

Kini, tak hentinya rasa syukur mengalir deras alam hatiku, syukur karena telah bisa menginjakkan kaki di negri ini, syukur karena telah dikenalkan pada teman-teman yang soleh, dan syukur atas nikmat ukhuwah. Aku tak merasa takut dan khawatir, karena di sisiku banyak saudara-saudara yang kapan pun aku butuh, mereka selalu datang membantu. Saudara yang selalu memompa semangatku, menghidupkan spirit, dan membangkitkan motivasiku.

Mereka juga selalu setia menyuarakan kebenaran, walau ada yang tidak suka, karena mereka menyadari, hati dan pikiran manusia tidak bisa disamakan semuanya. Ada yang cepat mengerti, ada yang butuh proses. Ada yang mudah menerima dan ada yang sulit; apakah karena kondisi hatinya yang sakit atau telah terpengaruh ide dan pemikiran lain.

Aku merasa beruntung berada di negri para nabi ini, negri yang dulu pernah ku impikan. Lakal hamdu wa lakasy syukru ya Rabb...

Salam ukhuwah dari Negri Para Nabi

"Selalu belajar dan berlatih untuk bersyukur atas setiap kebaikan dan nikmat yang dicurahkan Allah dan bersabar atas kesulitan dan musibah yang menimpa. Belajar untuk memahami hidup, memandang hidup dengan bijak, dan jernih. Melihat kehidupan dengan pikiran sehat, jiwa bersih, dan hati yang salim. Dimana setiap saat kehidupan yang dilalui berupaya menjadikannya bernilai dan bermakna. Bagaimanapun juga, tidak semua yang kita lihat, dengar, rasakan, dan alami seperti yang kita impikan, tapi, kita bisa melatih diri untuk melihat kehidupan dari sisi lain; dari sisi positif, dari sisi spirit untuk memberi warna indah pada kondisi tidak bersahabat yang kita lalui. Disanalah peran ikhlas, sabar, qana`ah, iman dengan taqdir, dan ridha sangat dibutuhkan."

marif_assalman@yahoo.com

www.marifassalman.multiply.com

Label:

Rindu Akan Kampung Akhirat

Banyak kisah tentang kerinduan. Rindu anak kepada orang tuanya yang sedang berada di kampung, atau sebaliknya rindu orang tua terhadap anaknya yang sedang dalam perantauan di negeri seberang. Ketika rasa rindu itu datang, pastinya kita akan selalu teringat akan apa yang kita rindukan.

Seorang anak yang rindu terhadap orangtuanya di kampung, ia akan berusaha mengumpulkan bekal untuk biaya pulang dan untuk membawa oleh-oleh yang terbaik untuk orangtuanya. Begitupun orang tua yang merindukan anaknya di perantauan, ia akan mempersiapkan apa saja kesukaan anaknya untuk menyambut kedatangannya ketika kabar berita kedatangan anaknya itu didengarnya.

Kisah rindu diatas adalah kisah rindu anak terhadap orangtuanya dan rindu orangtua terhadap anaknya. Lain halnya dengan kisah rindu antara dua orang kekasih yang sedang jatuh cinta. Dalam segala kondisi mereka selalu ingat terhadap kekasihnya, ketika sedang makan, minum, berjalan, duduk bahkan ketika sedang tidurpun teringat kekasihnya sampai-sampai terbawa mimpi.

Seperti itulah rindu ketika datang menghampiri. Kita akan selalu ingat terhadap apa yang kita rindukan. Rindu kampung halaman, rindu orangtua, rindu anak, rindu kekasih, dan rindu-rindu yang lainnya. Tetapi bagi orang beriman kerinduan yang harus ada adalah kerinduan terhadap kampung akhirat, rindu tempat dimana kita akan hidup selama-lamanya disana kelak.

Rindu akan kampung akhirat berarti kita senantiasa teringat kepada pemiliknya yaitu Allahu Rabbul ’Alamin, pencipta segala apa yang ada di jagat raya kehidupan, jagat raya kehidupan dunia dan akhirat. Rindu itu tercermin dari apa yang dilakukannya ketika di dunia ini untuk senantiasa ingat kepada-Nya.

Banyak kisah hamba beriman yang mencerminkan kerinduan akan kampung akhirat, yang dilakukannya senantiasa ingat kepada Allah SWT. Seperti kisah pengembala pada zaman Khalifah Umar Bin Khattab ra. Pada saat itu Abdullah bin Dinar dan Umar Bin Khattab ra. sedang dalam perjalanan menuju Makkah, di tengah perjalanan mereka beristirahat. Tiba-tiba muncul seorang pengembala menuruni lereng gunung dan melewati mereka berdua. Umar kemudian bertanya kepada pengembala itu: ”Hai Pengembala, juallah seekor kambingmu kepada saya?”. ”Tidak, saya ini seorang budak”, jawab pengembala itu. ”katakan saja kepada tuanmu bahwa dombanya di terkam serigala”, Umar menguji. Dengan tegas pengembala itu berkata: ”Kalau begitu, dimana Allah SWT?”.

Ketika mendengar jawaban pengembala itu Umar bin Khattab ra. menangis. Kemudian Umar pergi bersama pengembala tersebut menemui tuannya, untuk dimerdekakannya. Dan umar pun seraya berkata: ”Kamu telah dimerdekakan di dunia ini oleh ucapanmu dan semoga ucapan itu bisa memerdekakanmu di akhirat kelak”.

Kisah lainnya adalah kisah ibu dan putrinya penjual susu yang juga terjadi pada zaman Khalifah Umar bin khattab ra. Ketika ibunya ingin mencampur susu yang akan dijualnya dengan air, supaya mendapatkan keuntungan yang lebih banyak, putrinya mengingatkan: ”Bagaimana jika Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra. mengetahui?”. Sang Ibu tidak menghiraukan nasihat dari anaknya dan bersihkeras melaksanakan keinginannya itu. Dan putrinya pun kembali menasihati: ”Kalaupun Amirul Mukminin tidak melihat kita tetapi Rabb Amirul Mukminin melihat kita”.

Begitulah apa yang dilakukan oleh orang yang ada kerinduan dalam dirinya akan akhirat, mereka senantiasa ingat kepada Allah SWT. Selalu berusaha untuk menjauhi perbuatan-perbuatan dosa baik dalam keramaian ataupun dalam kesendiriannya. Kita mengenal hal itu dengan istilah Muroqobatullah atau merasakan pengawasan Allah SWT, yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat dan yang tidak pernah mengantuk dan juga tidur.

”...dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al Hadiid:4)

”Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Qs. Al Baqarah:255)

Dengan sifat Muroqobatullah itu kita akan senantiasa ingat kepada-Nya. Dan orang-orang yang rindu akan kampung akhirat, sifat ini akan selalu dipelihara. Tentunya Muroqabatullah ini akan mengangkat derajat seorang hamba menjadi orang-orang yang Taqwa. Karena sebagaimana didefinisikan oleh sebagian ulama Taqwa adalah hendaklah Allah tidak melihat kamu berada dalam larangan-larangan-Nya dan tidak kehilangan kamu dalam perintah-perintah-Nya. Definisi Taqwa lainnya adalah mencegah diri dari adzab Allah dengan berbuat amal sholeh dan takut kepada-Nya dikala sepi atau terang-terangan.

Dan Taqwa adalah jalan untuk meraih kebahagian di kampung akhirat sana, yaitu syurga yang mengalir dididalamnya sungai-sungai. Sungguh begitu damai terasa kampung akhirat yang bernama syurga itu. Semoga kita kelak ada diantara hamba yang berada didalamnya. Amin... Ya Rabbal ’Alamin...

”Perumpamaan syurga yang dijanjikan kepada orang-orang yang taqwa ialah (seperti taman); mengalir sungai-sungai didalamnya; buahnya tak henti-henti sedang naungannya (demikian pula). Itulah tempat kesudahan bagi orang-orang yang bertakwa, sedang tempat kesudahan bagi orang-orang kafir ialah neraka.” (Qs. Ar Ra’d:35)

Wallahu a’lam bishshawab

addy.1397@gmail.com
http://addyabasalma.blogspot.com

Label:

Pudarnya Keikhlasan


Jika ketulusan tidak lagi diindahkan, maka dampak negatifnya pun akan tampak jelas. Meski sudah berusaha menutup-nutupi. Jika sang Guru tak lagi ikhlas memberikan ilmunya maka hilanglah berkah, lahirlah pengajaran yang tak optimal. Atau pengajarannya optimal, namun materi yang diajarkan malah ngaco, sehingga yang lahir adalah sarjana-sarjana yang berpotensi besar mencoreng muka Islam. Melahirkan kebingungan ditengah umat. Mengusung pemahaman-pemahaman yang memukau, sekelian mengada-ngada.

Begitu juga sang murid, jika tak lagi ikhlas untuk mendapatkan ilmu, yang terlihat adalah tawuran dan segala tindakan-tindakan anarkis serta tak sedikit juga yang menjadikan alasan studi demi mendapatkan banyak uang dari otunya buat kepentingannya yang samasekali tak ada hubungannya dengan studi.

Tak ayal ada hati kecil yang yang berbisik setengah menjerit; Inikah tanda-tanda itu? Tanda-tanda akan berakhirnya sebuah ruang berupa kehidupan duniawi. Dan kemudian beralih kepada alam ketiga dimana semua makhluk akan kembali dibangkitkan. Alam baka. Alam yang tak lagi mengenal mati?

Mungkin ini jeritan dari setiap jiwa yang masih mendambakan kebenaran. Setiap mereka menjerit sedalamnya. Meraung memecah langit-langit raga. Sesekali tersenyum dan bahkan tertawa sendiri bak pangeran gila. Menyampaikan kepada alam tetang eksistensi sebuah kebenaran dan keikhlasan. Bingung. Seakan kebenaran tak tersisa lagi. Disetiap sudut gerak dan langkah seakan selalu diisi oleh motiv-motiv 'terselubung'.

Ah, ikhlas. Tampakanya kau tak lagi diindahkan. Sekarang coba kita lihat, ada apa pula dengan CINTA. Setiap diri memiliki rasa ini. Tak ada jidal diruang ini. Pokonya kalau sudah ngomong pasal cinta semua pasti bagai ditabur bunga. Dunia terasa begitu indah. Tapi, dimanakah cinta itu? Sungguh aku ragu akan wujudnya hari ini.

Banyak orang menyebut cinta itu buta, benarkah? Mungkin benar jika orang itu jauh dari makna cinta. Sehingga cinta benar-benar membutanya. Kita mungkin sering melihat ada sahabat yang melupakan sahabatnya, tak lagi mengindahkan persahabatan itu, karena dia telah mendapatkan cinta. Hari-hari, bahkan detik demi detik ia habiskan demi cintanya. Hingga, saking butanya si pecinta ini tak lagi ‘ramah’ dengan lingkungannya. Ia lupa semua itu. Ia telah buta sebelum dibutakan.

Sungguh sangat berarti jika ia mentadaburi sabda Rasulullah Saw: “tidak beriman seorang kamu hingga aku lebih dicintainya dari ayahnya, anaknya dan manusia semuanya” (HR.Bukhari dan Muslim)
Begitu indah sebuah ikatan cinta yang terjalin. Pertemanan yang berorientasi pada puncak maknanya. Semuanya bak indahnya kawanan beburungan yang beterbangan diangkasa luas. Berkicau, bercanda dan menari dengan alaminya. Subhanallah!

Tapi,masihkah keikhlasan itu tersisa?

Tak seharusnya materi menjadi aral yang menutupi pintu-pintu keikhlasan, akan lebih baik jika ia menjadi penyokong terbentuknya jalinan ukhwah yang tebal dan ladang amal shaleh yang luas.

Mari kembali kita melihat kealam nyata. Dunia perpolitikan semakin menyibak tirai persaingan. Setiap individu merasa dirinya sudah siap memegang tampuk kepemimpinan. Demi mewujudkan tujuan ini ia harus melakukan apapun agar ia bisa duduk disinggasana itu. Terjadilah kompetisi yang terkadang tidak sehat. Hingga akhirnya berkuasalah raja-raja yang juga terkadang tidak begitu ambil pusing dengan sebuah amanah, so berjejerlah penguasa-penguasa yang ananiyah alias ego.

Selain itu, kita juga seakan ruwet membedakan antara ulama dan non ulama. Hatta orang yang sudah kasat mata kita lihat ide-idenya merobohkan sendi-sendi Islam ingin juga diakui figurnya. Sungguh, dizaman ini masing-masing ingin diakui kealimannya, meskipun sesungguhnya tanpa ilmu. Sebenarnya ia maklum dengan apa yang disebut ‘amanah’. Namun, kembali jiwa itu membuang jauh rasa ingin mewujudkan kebenaran sesungguhnya.

Berretorika sebaik-baiknya adalah tantangan yang musti dikuasai dizaman ini. Dari sini sang orator bisa membius banyak orang. Membuat semua ternganga dengan gaya orasinya. Meski kenyataan dilapangannya sangatlah nihil.

Sebuah solusi tepat untuk mencampakkan embel-embel dibelakang semua jejak-langkah, itulah ikhlas. Sehingga semua yang diucap serupa dengan apa yang diperbuat. Karena pada hakekatnya orang mukmin itu adalah banyak berbuat dan sedikit berbicara, bukan sebaliknya.

Dari sini tak ada lagi yang menjadikan standar hidupnya adalah figur seseoarang, sebuah gerakan dsb. Tak ada lagi. Yang ada adalah standaritas yang telah lama digariskan, yaitu Syariat Nabi Muhammad Saw.

Sehingga tak adalagi suara sumbang yang mengatakan, “ah, si ‘A’ itu katanya backgroundnya ini, tapi kenapa kok dia seperti tak pantas, gitu... Kalau begitu, mah lebih baik kayak kita ini ya, bebas.” Padahal sama saja, si ‘A’ yang terlalu fanatik dengan sebuah kelompok emang tidak baik tapi, you yang terlalu bebas, hingga tidak lagi memperhatikan rambu-rambu syari’at juga tidak boleh.

Jadi, selain virus H1 dan N1 atau yang lazim disebut flu babi yang hari-hari ini sedang menggemparkan dunia, yang lebih dahsayat lagi adalah virus perusak keikhlasan, apapun jenis virusnya. Karena virus ini akibatnya akan lebih fatal, semua bentuk amal yang dilakukan nyaris sia-sia belaka dan hasilnyapun terkadang tak semaksimal yang digubah dengan tembok ikhlas. Na’uzu billahi min dzalika.

Wallahu a’la wa a’lam


 
oleh M.Harmin Abdul Aziz

Label:

Ambil Yang Jelek Buang Yang Baik


Sering kita mendengar ceramah-ceramah atau nasehat-nasehat dari mubaligh-mubalighah maupun para penceramah. Baik di masjid maupun di suatu event tertentu. Di antara pesan yang sangat familiar di telinga kita adalah seperti ini : ambil yang baik buang yang buruk (jelek). Bukankah begitu? Tapi lain hal dengan saya ini malah sebaliknya.

Entah ini penyakit atau bukan. Atau, mungkin ini kebiasaan saya. Saya sendiri juga kurang tahu. Tapi satu hal saya sering kali mengalaminya. Terlebih yang paling parah saat saya usai shalat pasti saya sering lupa. Memakai sandal apa yang saya pakai saat ketika memasuki mushallah saat itu. Dan hal itu sering saya alami bila usai shalat tiba dan saya pun mulai seperti paman Ling Lung—karakter tokoh pada Walt Disney. Mencari-cari sandal yang saya pakai. Ya, seperti mencari permata yang hilang saja saya saat itu. Maklumlah kalau saya sudah memakai sandal sesudahnya saya pasti akan mencari-cari dulu. Sandal apa yang saya pakai tadi. Cape ya?


Seperti baru-baru ini yang saya alami—pulang dari mushallah—yang masih dekat dari rumah. Saat itu ketika saya hendak shalat maghrib memakai sandal yang masih bagus dan baik tiba-tiba saat mau pulangnya sandal saya sudah tidak ada. Maklumlah kalau saat shalat maghrib tiba di mushallah saya ramai sekali. Sampai-sampai shaf jamaah sampai ke belakang. Baik jamaahnya dari kaum bapak-bapak, orang dewasa, anak remaja sampai anak-anak kecil. Mushallah saya pasti ramai sekali jamaahnya kalau shalat maghrib tiba.


Maklumlah shalat maghrib adalah shalat favorit jamaah di mushallah saya. Jadi di luar pembatas suci banyak sekali sandal-sandal berserakan. Baik yang masih bagus, mendingan sampai yang hancur habis juga ada. Maksudnya, yang sudah di lembiru (baca: lempar yang lama beli yang baru). Yang kalau nasib lagi baik bisa saja memakai sandal yang bagus. Kalau tidak? Ya, seperti saya alami. Nasib saya lagi apes. Berangkat shalat pakai sandal bagus pulangnyatidak pakai sandal. Ya, namanya juga lagi kena musibah. Iya, nggak? Tapi sama saja sih jika saya memakai milik orang lain saya tetap saja juga bersalah. Akhirnya saya pulangnya tidak pakai sandal. Jadi serba salah ya saya?

”Lu lagi nyari apaan, Yan,” ujar salah satu tetangga dekat saya ketika melihat saya seperti orang yang lagi menghitungi sandal jamaah mushallah. Tetangga saya yang kental dengan logat Betawinya menyapa saya. Termasuk saya sendiri yang juga asli Betawi.

”Nih, cari sandal!” seru saya sambil memilah-milah sandal jamaah mushallah. Siapa tahu sandal saya terselip diantara sandal yang lainnya. Para jamaah mushallah.

”Ya, kalo lu pake sandal yang bagus ikhlasin aja deh. Mungkin sandal lu dipake sama orang lain,” lanjutnya asal goblek. Tapi kalau saya pikir ada benarnya juga. Siapa tahu ada orang yang lagi seng mau menukar sandal saya yang lebih bagus dari sandal yang saya pakai saat itu.. Ini bukan su’udzhan lho ya? Tapi ini realita lho....

Saya tidak menjawabnya. Masih asyik dengan aktivitas saya. Mencari sandal yang saya pakai.

”Sudah deh ikhlasin aja, Yan!” lanjutnya lagi.

”Memang sih niatnya begitu. Tapikan sayang kalo nggak dicari,” ujar saya lagi sambil mencari sandal yang saya pakai saat itu.

Tidak beberapa lama kemudian saya lelah sendiri. Sudah lebih setengah jam saya tidak menemukan sandal saya. Sampai-sampai adzan Isya berkumandang saya masih tetap mencari sandal. Ya, akhirnya terpaksa misi saya itu saya batalkan untuk menunaikan kewajibanNya. Daripada saya telat memikirkan sandal saya lebih baik shalat saja dulu. Soal nanti ketemu atau tidak ya terpaksa pulangnya nyeker (baca: bahasa Betawinya tidak pakai sandal).

Usai ba’da Isya ternyata apa yang saya pikirkan akhirnya terjadi juga. Saya pulang tidak pakai sandal. Kalau pun pakai nanti sandal milik orang lain lagi. Jadi saya pun memutuskan pulang tidak pakai sandal. Untungnya rumah saya dekat. Coba kalau jauh? Ah, saya tidak mau membayangkannya lagi. Nanti jadi memikirkan musibah itu terus....

Ternyata musibah yang saya alami tidak sampai disitu. Saya masih kena musibah lagi. Ini usai pulang shalat Isya. Di rumah saya! Saya kena teguran dari orang rumah. Yang paling vokal adalah adik laki-laki saya yang hanya beda tiga tahun usianya dari saya.

”Lho, berangkat pake sandal. Lha ini pulangnya malah nyeker. Lebih baik kalo shalat nanti mendingan lu nggak usah pake sandal lagi deh. Rugi-rugiin tau,” celetuk adik saya itu. Meledek saya. Dan saya pun hanya diam saja. Padahal dalam hati saya mengutuk,” Liat aja nanti kalo pulang shalat kalo sandal lo ke dipake orang gue sorakin lu...,” batin saya menerawang tidak menentu.

Beginilah nasib orang memakai sandal dari rumah bagus ternyata pulang-pulangnya tidak apaki sandal.. Dan lebih parahnya habis pulang shalat lagi. Memang kalau lagi kena musibah tidak mengenal tempat dan waktu. Kapan pun dan dimana pun bisa terjadi. Halnya saya saat usai pulang shalat saat itu. Usai shalat maghrib. Dari rumah pakai sandal bagus pulangnya malah nyeker. Betul juga kata mubaligh-mubalighah: ambil yang baik buang yang jelek Tapi ini terbalik menyimpulkannya. Salah kapra Beginilah punya kebisaan sering lupa memakai sandal apa yang dipakai.
Ulujami, 23 Mei 2009

Penulis adalah penulis Buku Bela Diri for Muslimah: Perempuan Bukan Makhluk Yang Lemah. Ingin silaturahim kunjungi: fb/imel:bujangkumbang@yahoo.co.id. Atau, http://sebuahrisalah.multiply.com.


oleh Fiyan Arjun

Label:

Sakit Yang Menyenangkan

Seringkali orang yang sedang bersama penyakit, tidak akan menyenangi keadaannya. Keadaan yang membuatnya harus memilah-milah aktifitas, agar tidak membuat sakitnya tidak bertambah parah. Aktifitas yang terhambat yang kadang membuat kejengkelan yang menggunung. Malah mungkin lebih parah, yaitu menyesali keadaannya dan marah atas ketetapan Allah Swt karena memberikanntaya sebuah keadaan yang tak membuatnya senang. Keadaan yang seringkali sangat menguras emosi dan iman.

Emosi akan naik karena merasa sudah berobat ke dokter, tapi kenapa nggak sembuh? Padahal dokter yang di kunjungi adalah dokter yang terkenal. Hingga dia merasa dokter yang merawatnya tak punya kemampuan medis yang cukup. Emosi yang adem ayem menjadi emosi yang kadang tak terkontrol. “Dokter kenapa aku nggak sembuh? Padahal aku rutin makan obat. Menjaga makan dan istirahat!” Rupanya dia lupa bahwa dokter hanyalah manusia biasa, yang hanya dapat berusaha mengobati. Urusan sembuh atau tidaknya, adalah urusan sang Pencipta.

Maka sakit yang menemani, akhirnya merupakan sebuah derita. Derita untuk membuatnya selalu menggerutu dan menyesali keadaan. Malah kadang, meminta perhatian lebih pada orang terdekat dan lingkungannya. “Masa sih aku sakit tidak sering di jenguk?” Walah, sakitnya menjadikan dirinya menjadi seorang penuntut. Menuntut orang untuk selalu memerhatikan dirinya. Padahal kita tahu, setiap orang punya skala prioritas dalam mengelola waktu yang hanya duapuluh empat jam seharinya.

Emosi yang labil dan iman yang hampir diambang garis terbawah, karena tak sedikitpun berusaha mencari hikmah atas apa yang menimpanya. Padahal telah sangat jelas Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an :

"Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar, dan itu (lakukanlah dalam) sholat, dan sesungguhnya (sholat itu) sungguh berat, kecuali orang-orang yang khusyu. (Qs 2 : 45 )
(Yaitu) orang-orang yang meyakini, sesungguhnya mereka (sholat) hendak menemui Tuhannya, dan (yang demikian itu) sesungguhnya mereka kembali (menghadap) kepada-Nya. (Qs 2 : 46 )

Firman Allah yang kita baca, tapi kadang seringkali lupa mentadabburi isinya. Membaca Al-Qur’an hanya sebatas mengejar setoran. Karena halakah yang diikuti menugaskannya untuk membaca al-Qur’an sekian lembar seharinya. Sungguh kasihan, membaca al-Qur’an tapi tak mendapatkan hikmah di dalamnya. Padahal Al-Qur’an adalah penuntun dan pedoman hidup kita sebagai seorang yang muslim.

Yakinlah bahwa selama hidup di dunia ini, pasti akan dipergilirkan aneka musibah. Sebagaimana firman-Nya, “Dan, sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar“ ( Al Baqarah : 155 )
.
Rasulullah SAW bersabda : “Tidaklah seorang mukmin ditimpa sebuah kesedihan, nestapa, bencana, derita, penyakit hingga duri yang mengenai dirinya, kecuali Allah, dengannya, akan mengampuni kesalahan-kesalahannya“. Tentu saja dengan catatan sabar yang diadakan semata-mata ridha atas apa yang dikehendaki Allah Swt terhadap dirinya.

Teringat sebuah peristiwa puluhan lampau, tentang suatu penyakit yang di derita seorang laki-laki. Aku melihatnya hanya sebuah ringisan di ujung bibirnya untuk menahan rasa sakit dideritanya. Laki-laki ini tak pernah sedikitpun keluar dari bibirnya kata-kata yang menyesali keadaannya. Malah bila rasa kesakitan yang dahsyat datang menghampirinya, hanya kalimat-kalimat ampunanlah yang terlantun di bibirnya. Aku sering-kali memandanginya. Dia seorang laki-laki yang terkenal di kaumnya seorang yang jujur. Shalatnyapun terjaga.

“Penyakitku ini ada, karena Allah ingn membasuh semua dosaku. Karena beberapa tahun lampau aku telah menjual nomor ( judi ). Saat itu aku melakukannya, karena memang aku tak mampu melakukan hal lainnya. Dari-pada aku mencuri, aku berjualan nomor untuk mengganjal perut istri dan anak-anakku. Aku yakin, Allah akan memaafkan jalan nafkahku saat itu, karena hanya itulah yang mampu aku lakukan.” Laki-laki itu mampu berfilosofi tentang sakit yang dideritanya.

Ternyata dia mengidap penyakit tumor hati yang ganas. Setiap kali bertemu orang yang di kenalnya, dia akan selalu menjabat tangan dan meminta maaf, walaupun itu hanyalah seorang anak remaja Dia tahu ajalnya akan sangat dekat. Hidupnya yang di penuhi kesakitan ternyata menyenangkan baginya. Tak pernah sedikit pun menyalahkan pencipta-Nya, malah mensyukurinya. Karena dia tahu, di setiap tarikan napasnya yang selalu di penuhi dengan zikir akan menggugurkan dosa-dosanya. Sebuah karakter yang membuatku kagum, betapa laki-laki  ini telah menyerahkan penuh dirinya kepada Allah atas penyakit yang dideritanya.
Dia seorang laki-laki  shaleh, membuat keadaan dirinya menjadi seorang yang menerima penyakitnya sebagai : “Sakit yang menyenangkan.” Karena merasa menerima nikmat Allah sangat besar, bila dibandingkan rasa sakit yang dideritanya..

Semoga laki-laki yang telah berpulang ke Rahmatullah puluhan tahun lampau, diampuni dosa-dosanya oleh Allah Swt, karena aku menyaksikan betapa dia sangat tabah dan tawakkal atas takdir yang telah ditetapkan untuknya. Amiin.

Sengata, 7 Juni 2009
Halimah Taslima
Forum Lingkar Pena ( FLP ) Cab. Sengata

haimahtaslima@gmail.com.

Label:

Memaknai Waktu Luang

SAYA masih duduk bertafakur di dalam masjid setelah menunaikan shalat Isya malam itu. Ketika tiba-tiba sebuah pertanyaan melintas tanpa permisi di benak ini.

Apa yang menghalangimu untuk menunaikan dua rakaat shalat ba’diyah Isya?

Hening. Masjid sudah sepi dari para jamaah, menyisakan saya dan dua orang jamaah lain di belakang saya yang juga masbuk. Suara putaran tiga kipas angin yang terpasang di dinding dan langit-langit masjid mengisi sepi yang mulai merayap pasti.

Belum sempat syaraf di otak saya memproses sebuah jawaban, pertanyaan berikutnya sudah mencuat.

Bukankah kau ingin diakui sebagai umat Rasulullah Saw. kelak di hari Kiamat?

Ibnu ‘Umar r.a. berkata, “Aku hafal 10 rakaat (shalat sunah) Nabi Saw., yaitu 2 rakaat sebelum Zhuhur, 2 rakaat setelah Zhuhur, 2 rakaat setelah Maghrib di rumahnya, 2 rakaat setelah Isya di rumahnya, dan 2 rakaat sebelum Shubuh.” (H.R. Bukhari)

Betul sekali.

Bahkan saya sangat sangat ingin diakui sebagai bagian dari umat Rasulullah Saw. kelak pada hari dimana manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dan dari istri dan anak-anaknya. Pada hari ketika ruh dan malaikat berdiri bershaf-shaf, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya. Dan hari di saat orang kafir berkata, “Alangkah baiknya seandainya dahulu aku jadi tanah saja.”

Adakah alasan untuk mengabaikannya?

Saya teringat ketika lebih tujuh tahun ke belakang masih sering mudik ke kampung halaman di Sumatera dengan menggunakan bis AKAP yang memakan waktu di jalan hampir 40 jam. Bunda hampir tak pernah lupa mengingatkan saya untuk tidak usah berlama-lama ketika menunaikan shalat selama di perjalanan karena berbagai alasan yang dikhawatirkannya.

Saya bisa memakluminya, karena shalat wajib pun dianjurkan untuk diqashar dan sekaligus dijamak selama di perjalanan.

Sedangkan sekarang ini, saya tidak sedang menempuh perjalanan jauh dan tak ada urusan mendesak untuk dikerjakan. Tidak dalam kondisi gawat darurat karena perang sedang berkecamuk, atau dingin yang sangat, dan sehat wal afiat pula.

Tapi kan hukumnya sunah, bukan wajib, sisi hati saya yang lain menyumbangkan argumennya.

Lantas kapan kau akan mulai mengerjakannya? Semoga kau masih punya kesempatan sebelum nafasmu sampai di kerongkongan!

Buk! Seperti bogem mentah yang menyodok telak keengganan-keengganan saya selama ini. Dan saya pun menyerah.

Ya Allah, bantu aku untuk meneladani jejak-jejak Rasul-Mu di sisa usiaku. Amin.

***


Jika setiap diri meyadari betapa berharganya waktu luang, tentu tidak akan pernah terjadi seorang pelajar atau mahasiswa menerapkan cara belajar SKS (Sistem Kebut Semalam) saat masa ujian tiba. Tidak akan terjadi kelak di hari Pembalasan sebagian manusia berteriak minta dikembalikan ke dunia untuk melakukan amal kebaikan.

Mahasuci Allah yang telah menurunkan surat Al-‘Ashr dan Rasulullah Saw. yang telah mengingatkan kita tentang lima perkara sebelum datang lima perkara yang sebaliknya.

Semoga kita termasuk orang-orang yang dikarunia kepekaan untuk mengambil pelajaran dari setiap episode kehidupan ini.

Allahu a’lam bish-shawaab.

***



29 Juni 2oo9 1o:o8 p.m.

http://setta81.multiply.com


oleh Setta SS

Label:

Memanusiakan Manusia


Senin, 06 Juli 2009, perusahaan tempat saya bekerja kedatangan 3 orang tamu. Sebenarnya merupakan hal biasa, mengingat setiap hari selalu ada tamu yang datang baik itu tamu lokal atau ekspatriat. Biasanya pula kunjungan para tamu berkaitan dengan hubungan kerjasama antar perushanaan.

Ketiga tamu itu semuanya adalah orang Jepang dari sebuah perusahaan yang merupakan partner bisnis. Karena ketiga tamu orang Jepang itu mempunyai jabatan tinggi sehingga disambut pula oleh perwakilan perusahaan tempat saya bekerja yang juga orang Jepang dan memiliki jabatan yang sepadan dengan tamu-tamunya.

Seperti yang saya tulis diatas biasanya kedatangan tamu untuk membicarakan urusan bisnis. Namun kedatangan tiga orang Jepang itu bukanlah untuk urusan bisnis. Ketiga orang Jepang itu bermaksud mengucapkan terima kasih atau mau memberikan penghargaan kepada salah satu karyawan di perusahaan tempat saya bekerja dan itu atas nama perusahaan mereka.

Jujur, ini kali pertama saya mendengar berita semacam ini. Berhubung saya tidak menyaksikan dan mengetahui cerita sebenarnya maka saya diberitahu oleh rekan kerja saya yang merupakan atasan langsung karyawan yang mendapatkan penghargaan itu.

Teman saya menceritakan bahwa salah seorang karyawan yang mendapatkan penghargaan itu adalah seorang driver. Lalu kenapa seorang driver bisa mendapatkan penghargaan dari pejabat tinggi sebuah perusahaan?

Ternyata driver tersebut telah membantu driver dari perusahaan tempat ketiga orang Jepang itu bekerja. Pada senin dini hari, selepas mengantarkan part-part ke customer, di dekat area pom bensin gerbang tol Cibitung kawasan MM2100, driver tempat saya bekerja melihat sebuah sepeda motor kecelakaan. Ketika diamati rupanya driver tersebut mengenali jeket yang dikenakan oleh pengendara motor tersebut.

Driver tersebut bergegas menolong pengendara motor yang rupanya seorang driver juga dari perusahaan lain. Kemudian driver itu menghubungi pihak terkait dan menginformasikan keadaan driver yang mengalami kecelakaan.

Singkat cerita driver perusahaan tempat saya bekerja kembali dan driver yang mengalami kecelakaan dibawa ke tempatnya bekerja.

Pagi harinya datanglah tiga orang Jepang dari perusahaan dimana salah seorang drivernya mengalami kecelakaan itu ke perusahaan tempat saya bekerja. Dengan membawa beberapa bingkisan ketiga orang Jepang itu mengucapkan terima kasih sekaligus memberikan penghargaan atas bantuan dan informasi yang diberikan oleh driver perusahaan tempat saya bekerja. Tidak hanya itu, driver tersebut diberi kartu nama ketiga orang Jepang itu. Teman saya berceloteh,"Gue aja bosnya gak punya kartu nama direkturnya. Ini, driver dikasih langsung kartu nama sama direktur."

Mendengar cerita itu saya menjadi kagum dengan orang Jepang itu. Jujur, saya sangat jarang sekali mendenhar peristiwa seperti itu. Bayangkan tiga orang pejabat tinggi mengucapkan terima kasih langsung kepada seoang driver. Bukan bermaksud membesarkan orang Jepang dan mengecilkan bangsa sendiri, namun sekali lagi sangat jarang saya melihat fenomena seperti itu.

Di jaman sekarang masih ada orang yang menghargai jasa dari "orang kecil". Biasanya apa yang dilakukan oleh orang kecil dianggap tong kosong. Coba lihat saja pembantu rumah tangga, seringnya saya melihat mereka dianggap sebagai budak bukan partner kerja. Sehingga sikap sewenang-wenang kerap diterima para pembantu dari majikannya. Padahal sebenarnya tidak boleh seperti itu.

Pembantu rumah tangga sama saja dengan karyawan kantoran yang bekerja untuk yang punya perusahaan. Seharusnya harus diperlakukan secara profesional hubungan kerja diantara keduanya. Memang lingkungan kerjanya berbeda namun secara prinsip sama saja. Sang majikan membeli tenaga dari pembantu tersebut.

Di jaman materialistis dan hedonis, saat ini sangat langka manusia memanusiakan manusia. Budaya arogan sebagai imbas dari faham materialistis telah menjangkit dan merusak nurani dan moral. Derajat manusia hanya diberikan kepada orang-orang yang memiliki materi berlebih, pejabat, tokoh masyarakat,selainnya hanyalah omong kosong.

Jasa hanya berlaku bagi orang berdasi, bermobil mewah, berumah besar, keturunan ningrat, sementara "kaum kere" hanya berupa pengabdian dimana jasa-jasa mereka seperti sekumpulan debu diatas batu yang sirna tertiup angin seiring perubahan waktu.

Saya teringat ketika sebuah stasiun TV menayangkan mantan atlit nasional yang harus menjual semua penghargaannya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Masih ingat dengan dramatisnya kehidupan eli espikal (maaf saya tidak tahu cara menulis namanya). Setelah beberapa lama mengahrumkan nama bangsa dengan segudang prestasi namun tersia-siakan diakhir hayatnya. Masih banyak contoh nyata yang lainnya.

Moral dan hati nurani yang kian terkikis mencerminkan salahnya budaya yang dianut saat ini. Budaya materialistis dan hedonis telah membutakan keduanya. Akibatnya gap yang ada akan semakin membesar diantara manusia. Kalau seperti ini hilanglah esensi manusia itu sendiri.

Kiranya pembenahan religi dan moral perlu mendapatkan perhatian yang besar. Bagaimanapun juga harmoni kehidupan hanya akan lahir dengan sikap-sikap positif yang terlahir dari religi dan sikap moral yang benar.

Membiasakan mengucapakan tiga kata dasar ini bisa melatih sikap kita untuk bisa memanusiakan manusia. Terima kasih, minta tolong, dan maaf bisa menjadi hal kecil yang dibudayakan dalam berinteraksi dengan sesama. Mari kita wujudkan perdaban manusia yang penuh harmoni tanpa ada perbedaan apapun. Saling menghargai dan menghormati sesama apapun posisi dan jabatan kita di masyarakat sudah saatnya dipupuk kembali.


oleh Galih Ari Permana

Label:

Ibu, Sinonim Cinta

Sesungguhnya anugerah yang begitu besar yang ALLAH SWT turunkan di bumi, adalah ketika Dia menciptakan dan kemudian menitipkan rasa CINTA di hati kita. Dan soal cinta, rasanya guru kehidupan yang kita patut belajar darinya, adalah Ibu. Dalam kamus hidupku, IBU adalah sinonim dari kata CINTA.

Malin Kundang Pantas Jadi Batu
Siapakah dia yang tulus memberi tanpa berpikir nanti akan menerima ? Seperi mentari yang menyinari bumi, tak sedikitpun berharap untuk dibalas. Aku begitu ingat ketika banyak hal yang mengecewakan yang telah kuperbuat, dan ketika itu Bapak begitu geram, Mamah yang meredakan amarahnya, dan berusaha untuk tetap mengingatkan dan terus mengingatkanku, agar memperbaiki diri. Tidak hanya saat itu, tapi esoknya, lusa dan hari-hari berikutnya. Tanpa lelah Mamah selalu mengingatkanku. Bahkan hingga menetes air matanya, mengalir, kecewa bercampur sedih, ada marah mungkin, tapi jika saja ada satu kata yang tepat merangkumnya, kata itu adalah : CINTA.

Seberapapun banyak luka yang kita torehkan di hatinya (Ibu), takkan mampu membuatnya berhenti mencintaimu.

Aku ingat bagaimana air matanya mulai mengalir, karena kakiku yang luka dan ketika napasku mulai tersengal-sengal karena sakit yang tiba-tiba suatu ketika. Ada kekhawatiran yang begitu besar. Bahkan saat didengarnya aku demam sedikit, beliau segera saja mencarikan obat. Masih teringat di memoriku, ketika beliau merelakan perhiasannya, untuk keperluanku, padahal aku tahu itulah satu-satunya barang berharga yang dia miliki. Mungkin beberapa diantaranya terkesan berlebihan, tapi mamah yang tidak tamat pendidikan tinggi hanya bijak berkata : yang penting kamu bahagia. Ah belakangan aku mulai sepakat soal kutukan, menurutku sangat pantas malin kundang jadi batu.

Antara Hidup dan Mati
"Saat itu benar-benar aku nangis, sejadi-jadinya". Bang Kadir, teman kantorku menuturkan saat-saat istrinya dalam persalinan. "Seharian istriku, menahan sakit, mengeden tapi tak juga anakku keluar dari perut istriku. Sampai istriku kelelahan, enggak bisa ngeden lagi. Saat itu aku, dan sanak keluarga disitu nangis sejadi-jadinya. ", begitu Bang Dirman mengisahkan pengalamannya. Jadi teringat juga cerita Bang Ridwan. "Nangis aku, ngeri kali aku ngeliatnya (dengan logat medan). Yang namanya antara hidup dan mati itu benar", Bang Ridwan salah satu supir di kantorku menuturkan bagaimana perjuangan istrinya melahirkan.

"Antara hidup dan mati". Kalimat itu tiba-tiba membuatku (kembali) ingat Mamah. Perbuatanku yang banyak mengecewakannya, hari-hari ketika aku menjadi duri dalam keluarga, dan hampir tak ada hal baik yang kuperbuat, sementara begitu besar cinta yang telah beliau berikan, berkelebat di benakku.

Saat kucoba mengingat apakah ada hal yang membuat mamah bangga pada diriku, dibenakku malah muncul ketika mamah malu pada tetangga, malu pada guru-guruku di sekolah, malu pada saudara, bahkan malu pada dirinya sendiri, karena begitu sulitnya mengajakku memperbaiki diri, bahkan sekadar untuk mengurangi kenakalanku.

Mataku mulai pedih, berembun dan saat itu tak terasa ada yang mengalir di sela-sela mataku. Ada yang bergejolak di dadaku dan seperti ada yang meleleh. Pertahanku jebol, aku tersungkur. Pilu.

Ya Rabb, hamba mohon dengan sangat, berikanlah kebahagiaan yang tiada habis hingga akhir hayatnya, pada mamahku. Dan jadikanlah hamba salah satu pintu kebahagiaannya.

Medan, 07 Juni 2009



oleh Gun Gun Ardiansah

Label:

Usia yang Berkurang


Pagi itu, aku yang sedari malam berada di rumah kawan, setelah melaksanakan rutinitas pagi, shalat dan baca quran, aku duduk santai depan komputer. Dengan segelas teh dan roti, tidak jauh beda seperti yang aku rasakan di pagi-pagi yang lain. Hanya saja, biasa di rumah sendiri, ini di tempat orang.

Kebetulan komputer kawanku tersambung jaringan internet. Kuhampiri segera, dan langsung masuk ke YM (yahoo messenger) . Kulihat list kawan-kawan yang online. Lumayan banyak, mungkin karena baru selesai ujian. Jadi agak sedikit santai ber“OL” ria alias chatting. Pikirku memang di saat-saat kosong, tidak disibukkan dengan banyak tuntan, asyiknya duduk di depan komputer, buka internet dan chating. Ngobrol ke sana kemari, walau terkadang tidak ada topik, tapi enjoy juga. Mungkin sesuai dengan psikologi orang muda yang suka mengekspresikan diri. Jadi, dunia maya seperti chatting ini, salah satu sarana untuk lebih bebas berekspresi.

Seperti biasa kalau sudah login YM, aku memerikasa kotak masuk email ku. Tebakku, pasti banyak mail yang masuk. Soalnya semasa ujian selama sebulan penuh aku jarang buka internet. Dan benar, lebih dari lima puluhan email masuk. Ya walaupun kebanyakan mailist dan email-email yang nggak terlalu penting.

Sedikit agak bertanya-tanya, di antara sederetan surat masuk itu terlihat pengirimnya dari Facebook. Paling juga orang-orang yang minta add. Soalnya, aku tergolong orang yang paling jarang mendapat komentar-komentar di halama facebookku. Karena memang, aku tidak begitu suka balas-balasan komen.

Tapi, kali itu beda. Lebih dari lima orang ngasi komentar di facebookku. Aneh kupikir, ada apa gerangan yang membuat mereka ringan tangan memberi komentar. Padahal juga aku tidak pernah memberi komentar di facebook mereka. Tapi satu yang ku tahu, saat kulihat tanggal hari itu, bertepatan dengan hari kelahiranku. Aneka ucapan selamat ulang tahun pun menghiasi halaman depan facebook ku.

Ada yang ngucapin sanah helwah, ada yang happy birthday, ada juga dengan ucapan selamat ulang tahun. Sebuah penghargaan yang lumayan berarti bagiku. Walau ucapan-ucapan itu datang dari sebagian orang-orang yang tak ku kenal dan tak pernah berpapasan. Bahkan yang paling berharga menurutku, harapan dan doa-doa yang mereka berikan teriring ucapan selamat tadi, sehingga mengingatkan perjalnan hidupku sudah berapa jauh langkah yang ayuhkan. Sampai-sampai menjadi sebuah konsekwensi dari rute hidup yang kulalui, pergantian hari yang menemani, membuat jatah hidupku berkurang.

Satu komentar seperti itulah yang membuat aku kembali melihat ke belakang sejenak. Tatakala seorang kawan menulis komentar berupa ucapan selamat dan nasihat meski usia bertambah namun hakikatnya berkurang, juga doanya semoga aku yang sekarang bisa menjadi lebih bijak dari pada aku yang dulu-dulu.

Kalau ditanya soal perdebatan ulang tahun, aku lebih memilih posisi ditengah dalam hal ini. Memang benar ada yang bilang, ulang tahun itu tradisi luar, apalagi sampai-sampai merayakan, sangat tidak pantas sekali sebagai muslim meniru adat dan tradisi orang luar. Karena memang sedari dulu, islam tidak pernah ingin sama dengan orang luar. Misalnya, sewaktu para sahabat nabi dulu kebingungan bagaimana caranya memanggil orang untuk shalat berjamaah. Ada yang ngusulkan terompet, kemudian ditolak karena alasan ngikuti orang Yahudi. Ada yang ngusulkan lonceng, kemudian ditolak karena alasan ngikuti orang Nasrani. Barulah terakhir salah seorang sahabat mengusulkan untuk mengumandankan azan. Belum lagi yang beralasan, menyetir hadis bahwa segolongan yang mengikuti golongan lain, maka mereka termasuk satu golongan. Dan orang-orang yang mencintai satu kelompok, kelak akan dikumpulkan dihari kiamat bersama kelompok orang yang dicintai.

Namun, hal yang paling penting dalam hal ini, bagaimana kita mengambil hikmah dari setiap kejadian dalam kehidupan. Bukan ucapan selamat itu yang diharapkan, karena kalau direnung lebih dalam apa yang harus diucapin selamat, toh umur juga jadi berkurang. Namun yang paling berarti, saat orang-orang sekitar kita mengiringi doa dan nasehat di hari itu.

Hasibu qabla an tuhasabu, hitunglah diri kamu sebelum kamu dihitung. Setidaknya pernyataan ini yang mendasari bahwa muhasabah itu perlu kapan saja. merenung sejenak memikirkan apa yang sudah dikerjakan apa yang belum. Tafakkur, betapa banyak nikmat Allah yang diberikan, apakah sudah seimbang rasa syukur kita terhadap nikmat yang ada. Dan menghitung diri, apakah sepanjang nafas berhembus ini lebih banyak kebajikan yang dikerjakan atau sebaliknya.

Setiap hari, setiap minggu, setiap bulan dan setiap tahun. Intinya, setiap saat kita harus selalu interopeksi diri. Wal tanzur nafsun ma qaddamat li ghad. Begitulah firman Allah, menyuruh kita agar melihat apa yang telah berlalu agar bisa dijadikan pelajaran di masa akan datang.

Alangkah berartinya sebuah nasehat. Itu merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Satu kewajiban yang begitu pentingnya sampai-sampai dalam FirmanNya Allah swt menggandengkan peringatan itu dalam satu surat yang disebut al Ashr yang berarti waktu atau masa. Karena banyak orang yang terlalai dengan masa yang ada. Dalam surat tersebut Allah mengecualikan bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, mereka tidak akan merugi disebabkan oleh waktu. Karena mereka senantiasa menasehati dalam jalan kebaikan dan dalam kesabaran.

Berntunglah orang-orang yang mendapat nasehat dari saudaranya sehingga menjadikan dirinya lebih baik dari pada hari yang kemarin. Dan merugilah orang yang tidak mendapat nasehat, karena dirinya bakal menjadi lebih buruk dari pada hari yang kemarin. Sekurang-kurangnya, nasehat itu ada setahun sekali saat usia kita bertambah. Mudah-mudahan dengan muhasabah akan membuat hidup lebih berkah.

madhan_syah@yahoo.com
oleh Fery Ramadhansyah

Label:

Jangan Sia-siakan Waktu Kita

Hari berganti hari, waktu terus berputar tanpa henti. Tak terasa sudah banyak hal yang kita lewati dalam kehidupan ini. Usia kita semakin bertambah, dan cepat atau lambat kematian akan datang menjemput untuk memisahkan kita dari kehidupan dunia yang fana ini. Demikianlah, waktu begitu cepat berlalu.

Alangkah beruntung orang-orang yang cerdas memanfaatkan waktunya dalam kehidupan ini, sehingga tidak ada satu saatpun yang berlalu kecuali bernilai pahala dan kebaikan. Sedangkan orang-orang yang tertipu dengan bujuk rayu setan dan hawa nafsu, waktunya habis tanpa arti, bahkan menyeretnya pada dosa dan kemurkaan Allah.

Waktu adalah salah satu karunia termahal yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Dengan waktu yang Allah berikan, manusia punya potensi dan peluang untuk melaksanakan berbagai aktifitas dalam kehidupannya. Dan dengan waktu yang dimiliki, manusia terbagi menjadi dua golongan besar. Satu golongan adalah mereka yang beruntung dan satu golongan yang lain adalah mereka yang merugi. Tentang hal ini Allah telah menjelaskan dalam surat al-`Ashr yang berbunyi: "Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, mengerjakan amal kebajikan, dan saling berwasiat pada kebenaran dan pada kesabaran." (Al-`Ashr[103]: 1-3).

Ayat diatas juga telah menegaskan kepada kita bahwa nilai waktu bergantung pada sejauh mana setiap individu bisa menggunakannya pada jalan yang Allah ridhai.
Diantara upaya yang dapat kita lakukan adalah dengan melakukan manajemen waktu, yang muncul dari kesadaran akan urgensi waktu dalam kehidupan.

Allah sendiri telah bersumpah dengan waktu dalam banyak ayat dalam al-Qur`an, hal itu menjadi pertanda bahwa betapa mulia dan tinggi nilai waktu di sisi Allah. Jika Allah Swt memberikan kedudukan yang mulia terhadap waktu, maka semestinya setiap muslim juga memuliakan waktu.
Waktu adalah kehidupan. Tanpa waktu seorang muslim tidak dapat hidup dan mengabdi pada Allah. Dan menyia-nyiakan waktu berarti mengantarkan diri kepada kemurkaan Allah Swt.

Seringkali terjadi diantara kita timbul rasa penyesalan karena telah terlewat darinya kesempatan berharga, disebabkan menyia-nyiakan waktu yang ada. Begitulah sifat kebanyakan manusia, apa yang ada dan dimiliki jarang disyukuri, namun setelah tidak ada sering disesalkan.
Seperti kata pepatah, "Kesehatan adalah mahkota yang bertengger diatas kepala orang-orang sehat, tapi mahkota itu tidak kelihatan kecuali oleh orang-orang yang sakit."

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Barzah bahwa Rasulullah Saw bersabda: "Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam pada hari kiamat sebelum ditanya tentang 4 perkara : Tentang umurnya untuk apa ia habiskan, masa mudanya untuk apa ia gunakan, hartanya dari mana diperoleh dan kemana dibelanjakan, dan ilmunya, apa yang diamalkannya." (HR. Tirmidzi)
Imam Hasan Albashri berkata, "Wahai anak Adam! Sesungguhnya kamu hanyalah kumpulan dari beberapa hari, bila berlalu satu hari maka berlalulah sebagian darimu. Dan bila sebagian sudah berlalu, maka dekat sekali akan berlalu semuanya."

Satu jam waktu bisa bernilai kebaikan dan berbuah pahala, begitu juga sebaliknya, satu jam bisa menjadi keburukan dan mengundang kemurkaan Allah. Satu jam yang digunakan seseorang untuk membaca al-Qur`an, membaca buku, menghadiri majlis ilmu, menghafal pelajaran, bersilaturahmi, berdakwah, dan amal kebaikan lainnya akan berbeda dengan satu jam yang digunakan untuk main game, mengghibah, berjudi, pacaran, dan lainnya. Memang, setiap orang punya kebebasan untuk menghabiskan waktu sesuai keinginannya, tapi harus diingat setiap orang akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah terhadap waktu yang telah ia habiskan tersebut di akhirat nanti.

Sebagai seorang musafir di dunia ini, perlu kiranya kita berhenti sejenak melakukan muhasabah diri. Membuka kembali lembaran-lembaran lama yang tersimpan dalam memori kita. Apa sebenarnya yang ingin kita cari di dunia ini? Apa sebenarnya yang ingin kita dapatkan di dunia ini? Apa sebenarnya niat yang telah membuat kita berani melangkahkan kaki untuk melakukan sebuah pekerjaan di dunia ini? Sehingga kita rela menanggung susah, bahkan berpisah dengan orang tua, dengan orang-orang yang kita cintai, kita rela meninggalkan kampung halaman untuk mencapai sebuah cita-cita dan impian itu?

Kita juga harus membuka file-file perjalanan hari-hari yang telah kita lalui selama di ini. Apakah ia sesuai dengan tujuan kita diciptakan Allah? Apakah ia berjalan sebagaimana yang kita rencanakan? Ataukah ia sudah banyak melenceng dari rencana awal?
Kita juga perlu mengetahui, apakah selama ini yang menjadi kelemahan kita? Apa yang selama ini membuat kita tidak sanggup mencapai puncak prestasi? Apakah yang selama ini menjadi rintangan yang selalu menghalangi jalan yang kita tempuh? Apakah potensi yang kita miliki untuk menutupi kekurangan tersebut dan apakah peluang yang nampak di hadapan dan di sekitar kita sehingga segala rintangan dan kendala dapat kita singkirkan?

Kenapa kita perlu berhenti sejenak? Agar kita dapat memperbaiki kesalahan yang terjadi, agar kita bisa menyempurnakan kekurangan yang kita miliki, agar kita bisa menyusun langkah yang lebih baik, dan agar lebih mematangkan persiapan untuk melanjutkan perjalanan selanjutnya.

Setiap orang diberi porsi waktu yang sama setiap hari, yaitu 24 jam. Dalam 24 jam tersebut ada orang bisa menyelesaikan 10 pekerjaan. Ada yang bisa menyelesaikan 8 pekerjaan. Ada yang bisa menyelesaikan 5 pekerjaan, ada yang bisa 3 pekerjaan, ada yang hanya bisa 1 pekerjaan, dan ada yang tidak bisa melakukan apapun. Jadi, apa yang membedakan kita dengan orang lain?

Semuanya kembali pada diri kita masing-masing, apabila kita ingin sukses di dunia dan akhirat, maka manajemen waktu adalah diantara solusi tepat yang bisa kita tempuh.

Dalam hal ini penulis hanya memberi kata pengantar tentang manajemen waktu, untuk lebih mendalam dan matang Anda bisa membaca berbagai buku yang membahas tentang manajemen waktu. Wallahu a`lam bish-showab.
Semoga bermanfaat.

Salam hangat dari Kairo,
marif_assalman@yahoo.co

www.marifassalman.multiply.com


  oleh M. Arif As-Salman

Label:

Translator dari Indonesia ke . .

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Indahnya Hikmah dari kehidupan Manusia, sejak dilahirkan hingga dewasa dan akhirnya kembali ke Haribaan ALLAH SWT, bagaikan indahnya kembang jambu, kemudian berproses menjadi buah yang bermanfaat bagi mahluk lainnya. Semoga Keindahan kehidupan kita tidak sirna walaupun kita telah tiada.

Selamat membaca

Blog ini berisi kumpulan artikel OASE IMAN yang pernah dimuat di http://www.eramuslim.com/oase-iman Banyak hal menarik yang dapat kita teladani dari sauri teladan kisah-kisah dan hikmah dibaliknya. Untuk itu maka, arsip tulisan ini terasa sangat sayang jika hanya disimpan di dalam file saja.

Dengan adanya blog ini, Semoga membawa manfaat bersama kepada saudara-saudaraku semua.

Blog Archive

Sahabat KembangJambu, ada di. .

Followers

Diberdayakan oleh Blogger.