Senin, 01 Oktober 2012 |
0
komentar
oleh
Ineu
Pada
suatu kesempatan berdiskusi ringan dengan para ibu yang mengantarkan
putra-putrinya belajar baca qur'an, saya melontarkan sebuah pertanyaan.
"Ibu-ibu
yang saya cintai, apa yang paling sulit dikendalikan dari diri ibu?"
Suasana
hening sejenak, mereka terlihat termenung memikirkan sesuatu, lalu tak berapa
lama mereka bergiliran menjawab.
"Saya
paling sulit mengendalikan marah", jawab seorang ibu yang mendapat giliran
pertama menjawab.
Seolah
telah terjadi kekompakan, jawaban mereka ternyata senada, ada yang ekspresif
penuh gelora saat menyampaikan jawabannya, ada juga yang malu-malu.
"Bagaimana
ya Mbak kiat agar bisa menahan atau meredamnya, rasanya dalam kehidupan saya
tiada hari tanpa amarah yang terluapkan?", tanya seorang ibu.
Belum
sempat saya menjawab, ibu tersebut rupanya masih ingin meneruskan apa yang ia
pikirkan. Dengan mimik muka yang lebih serius, beliau menyampaikan perasaannya.
"Saya kok seperti mempermainkan janji
pada Allah, sehabis marah saya beristighfar memohon ampunan atas amarah yang
saya perturutkan, tapi tak berapa lama berselang hanya dalam hitungan menit
bukan dalam hitungan hari, saya kembali melakukan hal yang sama: meluapkan
amarah lagi", urainya panjang lebar.
Semua
ibu-ibu yang hadir tersenyum dan mengangguk, saya tak berani menduga apa arti
dari senyum dan anggukan mereka. Apakah merasa pertanyaan sang ibu tadi
mewakili yang dirasakan mereka juga atau sebagai sebuah ungkapan memahami
perasaan sang ibu yang bertanya.
Tak
berapa lama, ibu-ibu yang lain pun melontarkan perasaan yang menyebabkan
terpicunya reaksi marah mereka, seperti kesal karena suami tidak mengapresiasi
upayanya membuat suasana rumah bersih dan nyaman, tersajinya hidangan makanan
yang bervariasi dan menggugah selera, juga tak mempedulikan bagaimana sang ibu
telah berusaha sedemikian rupa tampil cantik untuk suaminya. Ada juga yang kesal karena ulah buah hatinya,
dan lain-lain. Tetapi umumnya para ibu merasa amarah lebih sering terjadi
karena dan pada orang terdekat.
Suasana
kembali tenang setelah berbagai perasaan mereka tertumpahkan saat itu, kini
seluruh mata menatap saya menanti jawaban.
Melihat
isyarat itu, saya mengawali jawaban dengan menyampaikan bahwa pertanyaan yang
sebelumnya saya ajukan adalah merupakan tema yang ingin disampaikan pada
kesempatan tersebut, yakni tentang menahan marah.
Selanjutnya,
saya pun mulai menguraikan sedikit yang saya pahami sambil berharap dalam hati
semoga Allah membimbing diri saya juga para ibu yang hadir saat itu untuk dapat
menyelami lebih dalam ajaran agama yang sempurna ini.
"Ibu-ibu
yang dirahmati Allah, tak hanya ibu-ibu yang merasakan itu, saya sendiri juga
orang yang harus selalu belajar dan terus belajar dari waktu ke waktu untuk
dapat menahan marah. Amarah merupakan suatu tabiat yang sulit untuk
dikendalikan. Oleh karena itulah Allah menjadikan orang yang mampu menahan
amarahnya sebagai salah satu ciri orang yang bertakwa".
Sejenak
saya berhenti, kemudian mengajak mereka membuka qur'annya masing-masing dan
membuka surat
Ali Imran ayat 133-134. Seorang ibu membacakan arti ayat yang dibaca.
"Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang seluas
langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu)
orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit,
dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang. Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (QS.3:133-134).
"Di
samping itu ibu-ibu, Allah juga memberi pahala kepada orang yang dapat menahan
amarahnya lalu memaafkan mereka yang menyakitinya", lanjut saya seraya
membacakan arti sebuah ayat yang masih berkaitan dengan hal tersebut.
"Dan
balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Barangsiapa memaafkan dan
berbuat baik, maka pahalanya atas tanggungan Allah. Sesungguhnya dia tidak
menyukai orang-orang yang zhalim"(QS.Asy Syuura:40).
Mengenai
kiat menahan amarah yang ditanyakan mereka, saya pun mencoba mengajak ibu-ibu
untuk selalu mengingat kedua ayat tersebut saat rasa marah mulai menguasai hati
disamping mencoba mengalihkan perasaan hendak marah itu dengan segera
beristighfar dan merubah posisi kita. Berwudhu juga sebuah upaya lebih baik
lagi yang dapat dilakukan untuk menenangkan hati.
Saya
tambahkan pula untuk menjadi latihan bagi kami semua yaitu mengenali saat-saat
letih diri sendiri, pasangan maupun anak kemudian menghindari untuk
menyampaikan sesuatu yang tidak kita setujui dari mereka pada saat tersebut
atau dengan kata lain menunda sampai suasana nyaman untuk berbicara atau
menumpahkan segala yang menjadi uneg-uneg. Dan terakhir, saya sampaikan untuk
diri saya dan mereka bahwa kita harus terus-menerus berusaha memahami karakter
serta memperbanyak dialog dengan pasangan maupun anak. Hal tersebut perlu
ditingkatkan untuk mengikis hambatan-hambatan komunikasi yang sering menjadi
bola salju "kemarahan" yang siap meluncur sewaktu-waktu.
Saat ini,
rasanya tak sabar ingin segera berkumpul kembali dengan para ibu, karena kami
bersepakat untuk berlatih menahan amarah dan menceritakan pengalaman
masing-masing saat pertemuan berikutnya.